Friday, March 29, 2024

Duhai Pejabat, Kalau Bersih Kenapa Risih

Duhai Pejabat, Kalau Bersih Kenapa Risih

Beni Kurnia Illahi
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas

 

“… Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra: 36).

Sepotong ayat Al-Quran di atas mengingatkan kita bahwa apa pun yang kita lakukan di dunia ini harus dipertanggungjawabkan, di dunia maupun akhirat kelak. Apalagi tiap-tiap pemimpin yang memimpin suatu negara tentu dituntut untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang dilakukan (moril maupun materil).

Kondisi negara ini saat ini justru bertolak belakang sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat Al-Quran tadi. Di samping itu, kaidah dan norma yang sudah diatur sedemikian rupa menjadi bias di mata penyelenggara negara. Betapa tidak, aturan terkait kewajiban setiap penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan sebelum, selama, dan sesudah mereka menjabat tidak diindahkan.

Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) merupakan sebuah dokumen penting yang mesti dimiliki oleh penyelenggara negara guna memperlihatkan dan melaporkan seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh penyelenggara negara tersebut.

Tindakan atas paradigma penyelenggara negara yang apatis dalam menyampaikan LHKPN ini sebetulnya tergolong pada tindakan mala administrasi. Sebab, dalam penyelenggaran pemerintahan yang baik sesungguhnya menghendaki adanya akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan rule of law. Sederhananya, pelaporan harta kekayaan ini merupakan wujud dari tranparansi dan akuntabilitas nahkoda penyelenggara negara dalam menjalankan biduk pemerintahan di negeri ini.

Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih menuntut terbebasnya praktik yang menyimpang (mala administration) dari etika administrasi negara. Meminjam slogan instansi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersama Bank Indonesia yang terus didengung-dengungkan: “Kalau bersih, kenapa harus risih.”

Dalam perspektif administrasi publik, tujuan transparansi membangun rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah harus memberi informasi yang akurat bagi masyarakat yang membutuhkan. Terutama informasi andal terkait persoalan hukum, regulasi, dan hasil pencapaian dalam proses pemerintahan.

Pencapaian-pencapaian tersebut tentu berimplikasi terhadap individu penyelenggara negara. Karena dalam proses penyelenggaraan pemerintahan tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban inilah yang semestinya dikedepankan oleh penyelenggara negara dalam mencapai tujuan pemerintahan yang sesungguhnya, yaitu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Meluruskan Paradigma LHKPN
Jika dikaji secara normatif, beberapa paket undang-undang telah mengatur secara komprehensif ihwal laporan hasil kekayaan penyelenggara negara, baik secara eksplisit maupun implisit. Norma itu dapat ditelusuri dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Nomor 28 Tahun 1999 mewajibkan penyelenggara negara untuk “bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat” serta “melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat”. Tidak hanya itu, UU Nomor 30 Tahun 2002 juga menukilkannya dalam Pasal 13 huruf (a) yang menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang “melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara”.

Kewenangan tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan KPK. Demikian pula dengan penyelenggara negara.

Hal yang sama bahkan juga dimaktubkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf (b) dan (i) UU Nomor 30 Tahun 2014 yang memberikan kewajiban kepada pejabat pemerintahan untuk mematuhi Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta memeriksa, meneliti, dan membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat.

Artinya, secara implisit pejabat pemerintah punya tuntutan untuk mematuhi segala aturan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan dengan membuka seluruh informasi, baik menyangkut pribadi maupun instansinya, demi terwujudnya transparansi dan reformasi birokrasi di setiap lembaga pemerintahan.

Faktanya, aturan untuk melaporkan harta kekayaan tersebut tidak diindahkan oleh beberapa penyelenggara pemerintahan di masing-masing lembaga (eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun BUMN/BUMD). Keabsurdan masing-masing lembaga tersebut dapat dilihat dari data lembaga anti rasuah KPK per 31 Januari 2016. Tingkat pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara hanya sekitar 70% dari 271.984 orang.

Jika ditelisik berdasarkan empat unsur wajib lapor, yakni yudikatif, eksekutif, legislatif, dan BUMN/BUMD, unsur legislatif menunjukkan kepatuhan yang paling rendah. Bahkan, tingkat kepatuhan unsur legislatif sangat rendah, hanya 27%. Unsur legislatif, menurut definisi yang dimiliki KPK, meliputi anggota DPR, DPD dan DPRD.

Jika ditelusuri lebih jauh, jumlah anggota DPR yang telah menyampaikan laporan sekitar 60%. Adapun anggota DPD mencapai 80%. Artinya, ketidakpatuhan termasif berada di kekuasaan legislatif.

Dalam analisis konstruktif berfikir, beberapa hal harus dilakukan. Pertama, paradigma para penyelenggara negara harus segera diluruskan. Sebab, salah satu desain besar dari reformasi birokrasi adalah adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Apalagi, sebagai lembaga representasi rakyat, legislatif yang tidak menyerahkan LHKPN berarti telah memberikan potret usang bagi penyelenggara negara yang lain.

Peristiwa ini justru patut dicurigai berpotensi korupsi dan semakin menunjukkan bahwa kita perlu arif meragukan harta kekayaan anggota parlemen di negeri ini, terutama sumber pendanaannya. Sebab, ini akan menjadi preseden buruk terhadap kelangsungan sistem demokrasi di Indonesia.

Kedua, jika kita meneropong lembaga eksekutif. Eksekutif termasuk lembaga yang masih mengabaikan perintah paket undang-undang tersebut. Ketiadaan sanksi tegas dijadikan benteng pelindung oleh para penyelenggara negara yang abai menunaikan kewajiban melaporkan harta kekayaan. Apalagi alasan ketidaktahuan dan tidak mau tahu para pejabat eksekutif yang sewaktu-waktu pasti akan menjadi bumerang terhadap dirinya dalam menjalankan biduk pemerintahan tersebut. Karena dia bersifat eksekutor, karena itu segala sesuatunya pasti bersentuhan langsung dengan pengelolaan keuangan negara.

Jika kita tarik ke belakang, pengelolaan keuangan negara (APBN) 2015 ditetapkan dengan beberapa postur.  Pertama, pendapatan negara setelah perubahan APBN ditetapkan sebesar Rp 1.768.970 triliun. Kedua, belanja pemerintah pusat setelah mengalami perubahan APBN ditetapkan sebesar Rp 1.994.888,7 triliun.

Ketiga, dana transfer ke daerah setelah mengalami perubahan APBN ditetapkan sebesar Rp 664.121 triliun. Dengan demikian, pengelolan APBN tahun 2015 mengalami defisit sebesar Rp 70.529 triliun.

Jika dikelola tidak dengan  akuntabel, efektif, dan efisien berdasarkan asas hukum pengelolan keuangan negara, keuangan negara sangat mengkhawatirkan dan potensi terjadi penyimpangan bisa dipastikan sangat besar. Pendeknya, kerugian negara akibat pengelolaan  keuangan negara oleh penyelenggara negara sudah tidak dapat dihindarkan.

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I tahun 2015 menjadi hipotesa “menarik” terhadap kinerja penyelenggara negara. Hal ini menunjukkan adanya penyalahgunaan pengelolan keuangan negara yang jumlahnya sangat fantasis, trennya meningkat jika dibandingkan  dengan tahun-tahun sebelumnya. Hipotesa ini menambah praduga kita dalam meragukan harta kekayaan pejabat eksekutif sekarang ini.

Dari penjelasan dua kekuasaan ini hendaknya mendorong inisiatif seluruh penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya. Masyarakat berharap besar kesadaran penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan timbul dari intuisinya, bukan dikarenakan was-was pada sanksi dan kritik. Bukan pula cemas ketahuan telah meraup uang negara.

Pemimpin yang baik itu akan terlihat bersih ketika tidak risih melaporkan harta kekayaannya. Karenanya, perencanaan pembangunan yang direncanakan sesuai amanat konstitusi juga dapat terwujud dengan konsep anggaran yang berbasis kinerja-kinerja terbaik.

Add a comment

Duhai Pejabat, Kalau Bersih Kenapa Risih

Duhai Pejabat, Kalau Bersih Kenapa Risih

Beni Kurnia Illahi -

1 April 2016, Kolom Geotimes 

“… Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra: 36).

Sepotong ayat Al-Quran di atas mengingatkan kita bahwa apa pun yang kita lakukan di dunia ini harus dipertanggungjawabkan, di dunia maupun akhirat kelak. Apalagi tiap-tiap pemimpin yang memimpin suatu negara tentu dituntut untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang dilakukan (moril maupun materil).

Kondisi negara ini saat ini justru bertolak belakang sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat Al-Quran tadi. Di samping itu, kaidah dan norma yang sudah diatur sedemikian rupa menjadi bias di mata penyelenggara negara. Betapa tidak, aturan terkait kewajiban setiap penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan sebelum, selama, dan sesudah mereka menjabat tidak diindahkan.

Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) merupakan sebuah dokumen penting yang mesti dimiliki oleh penyelenggara negara guna memperlihatkan dan melaporkan seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh penyelenggara negara tersebut.

Tindakan atas paradigma penyelenggara negara yang apatis dalam menyampaikan LHKPN ini sebetulnya tergolong pada tindakan mala administrasi. Sebab, dalam penyelenggaran pemerintahan yang baik sesungguhnya menghendaki adanya akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan rule of law. Sederhananya, pelaporan harta kekayaan ini merupakan wujud dari tranparansi dan akuntabilitas nahkoda penyelenggara negara dalam menjalankan biduk pemerintahan di negeri ini.

Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih menuntut terbebasnya praktik yang menyimpang (mala administration) dari etika administrasi negara. Meminjam slogan instansi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersama Bank Indonesia yang terus didengung-dengungkan: “Kalau bersih, kenapa harus risih.”

Dalam perspektif administrasi publik, tujuan transparansi membangun rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah harus memberi informasi yang akurat bagi masyarakat yang membutuhkan. Terutama informasi andal terkait persoalan hukum, regulasi, dan hasil pencapaian dalam proses pemerintahan.

Pencapaian-pencapaian tersebut tentu berimplikasi terhadap individu penyelenggara negara. Karena dalam proses penyelenggaraan pemerintahan tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban inilah yang semestinya dikedepankan oleh penyelenggara negara dalam mencapai tujuan pemerintahan yang sesungguhnya, yaitu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat.

Meluruskan Paradigma LHKPN

Jika dikaji secara normatif, beberapa paket undang-undang telah mengatur secara komprehensif ihwal laporan hasil kekayaan penyelenggara negara, baik secara eksplisit maupun implisit. Norma itu dapat ditelusuri dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Nomor 28 Tahun 1999 mewajibkan penyelenggara negara untuk “bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat” serta “melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat”. Tidak hanya itu, UU Nomor 30 Tahun 2002 juga menukilkannya dalam Pasal 13 huruf (a) yang menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang “melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara”.

Kewenangan tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan KPK. Demikian pula dengan penyelenggara negara.

Hal yang sama bahkan juga dimaktubkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf (b) dan (i) UU Nomor 30 Tahun 2014 yang memberikan kewajiban kepada pejabat pemerintahan untuk mematuhi Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta memeriksa, meneliti, dan membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat.

Artinya, secara implisit pejabat pemerintah punya tuntutan untuk mematuhi segala aturan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan dengan membuka seluruh informasi, baik menyangkut pribadi maupun instansinya, demi terwujudnya transparansi dan reformasi birokrasi di setiap lembaga pemerintahan.

Faktanya, aturan untuk melaporkan harta kekayaan tersebut tidak diindahkan oleh beberapa penyelenggara pemerintahan di masing-masing lembaga (eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun BUMN/BUMD). Keabsurdan masing-masing lembaga tersebut dapat dilihat dari data lembaga anti rasuah KPK per 31 Januari 2016. Tingkat pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara hanya sekitar 70% dari 271.984 orang.

Jika ditelisik berdasarkan empat unsur wajib lapor, yakni yudikatif, eksekutif, legislatif, dan BUMN/BUMD, unsur legislatif menunjukkan kepatuhan yang paling rendah. Bahkan, tingkat kepatuhan unsur legislatif sangat rendah, hanya 27%. Unsur legislatif, menurut definisi yang dimiliki KPK, meliputi anggota DPR, DPD dan DPRD.

Jika ditelusuri lebih jauh, jumlah anggota DPR yang telah menyampaikan laporan sekitar 60%. Adapun anggota DPD mencapai 80%. Artinya, ketidakpatuhan termasif berada di kekuasaan legislatif.

Dalam analisis konstruktif berfikir, beberapa hal harus dilakukan. Pertama, paradigma para penyelenggara negara harus segera diluruskan. Sebab, salah satu desain besar dari reformasi birokrasi adalah adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Apalagi, sebagai lembaga representasi rakyat, legislatif yang tidak menyerahkan LHKPN berarti telah memberikan potret usang bagi penyelenggara negara yang lain.

Peristiwa ini justru patut dicurigai berpotensi korupsi dan semakin menunjukkan bahwa kita perlu arif meragukan harta kekayaan anggota parlemen di negeri ini, terutama sumber pendanaannya. Sebab, ini akan menjadi preseden buruk terhadap kelangsungan sistem demokrasi di Indonesia.

Kedua, jika kita meneropong lembaga eksekutif. Eksekutif termasuk lembaga yang masih mengabaikan perintah paket undang-undang tersebut. Ketiadaan sanksi tegas dijadikan benteng pelindung oleh para penyelenggara negara yang abai menunaikan kewajiban melaporkan harta kekayaan. Apalagi alasan ketidaktahuan dan tidak mau tahu para pejabat eksekutif yang sewaktu-waktu pasti akan menjadi bumerang terhadap dirinya dalam menjalankan biduk pemerintahan tersebut. Karena dia bersifat eksekutor, karena itu segala sesuatunya pasti bersentuhan langsung dengan pengelolaan keuangan negara.

Jika kita tarik ke belakang, pengelolaan keuangan negara (APBN) 2015 ditetapkan dengan beberapa postur.  Pertama, pendapatan negara setelah perubahan APBN ditetapkan sebesar Rp 1.768.970 triliun. Kedua, belanja pemerintah pusat setelah mengalami perubahan APBN ditetapkan sebesar Rp 1.994.888,7 triliun.

Ketiga, dana transfer ke daerah setelah mengalami perubahan APBN ditetapkan sebesar Rp 664.121 triliun. Dengan demikian, pengelolan APBN tahun 2015 mengalami defisit sebesar Rp 70.529 triliun.

Jika dikelola tidak dengan  akuntabel, efektif, dan efisien berdasarkan asas hukum pengelolan keuangan negara, keuangan negara sangat mengkhawatirkan dan potensi terjadi penyimpangan bisa dipastikan sangat besar. Pendeknya, kerugian negara akibat pengelolaan  keuangan negara oleh penyelenggara negara sudah tidak dapat dihindarkan.

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I tahun 2015 menjadi hipotesa “menarik” terhadap kinerja penyelenggara negara. Hal ini menunjukkan adanya penyalahgunaan pengelolan keuangan negara yang jumlahnya sangat fantasis, trennya meningkat jika dibandingkan  dengan tahun-tahun sebelumnya. Hipotesa ini menambah praduga kita dalam meragukan harta kekayaan pejabat eksekutif sekarang ini.

Dari penjelasan dua kekuasaan ini hendaknya mendorong inisiatif seluruh penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekayaannya. Masyarakat berharap besar kesadaran penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan timbul dari intuisinya, bukan dikarenakan was-was pada sanksi dan kritik. Bukan pula cemas ketahuan telah meraup uang negara.

Pemimpin yang baik itu akan terlihat bersih ketika tidak risih melaporkan harta kekayaannya. Karenanya, perencanaan pembangunan yang direncanakan sesuai amanat konstitusi juga dapat terwujud dengan konsep anggaran yang berbasis kinerja-kinerja terbaik.

 

Add a comment

Presiden Jokowi dan Kekisruhan Kabinet Pelangi

Presiden Jokowi dan Kekisruhan Kabinet Pelangi

M.Nurul Fajri

Geotimes, 15 Maret 2016

 

Presiden Jokowi juga sudah menyampaikan batasan dan mekanisme agar semua perbedaan dan perdebatan di antara para menteri, secara kelembagaan maupun personal, untuk bisa diselesaikan seluruhnya dalam rapat kabinet. Namun, yang terlihat sejauh ini, teguran dan instruksi Presiden seolah tidak diindahkan oleh sebagian menteri pengisi Kabinet Kerja.

Kejadian berulang ini tentu saja telah mereduksi wibawa Presiden Jokowi tidak hanya sebagai pimpinan dari para menteri, tapi juga selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tidak heran Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga ikut merasakan dampaknya. Padahal, menteri merupakan pembantu Presiden dalam menjalankan pemerintahan yang seharusnya tunduk dan patuh terhadap apa saja instruksi dan arahan Presiden.

Perihal hubungan dalam pemerintahan, mulai dari presiden hingga menteri-menteri, baik secara struktural maupun koordinasi (antar menteri), seharusnya memahami fondasi etis sebagai pejabat publik. Sebab, baik presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri berada dalam satu kesatuan kerja kolektif menjalankan tugas pemerintahan yang sesuai dengan aturan hukum serta visi dan misi pemerintahan.

Idealnya, tidak dibenarkan adanya perbedaan sikap dan tindakan antara presiden, wakil presiden, dan para pembantunya dalam menyikapi sebuah persoalan atau dalam melahirkan kebijakan terkait berjalannya roda pemerintahan. Namun, dalam beberapa catatan yang ada tentang “buruknya” hubungan tersebut, sepertinya Presiden Jokowi patut memikirkan ulang tentang bagaimana komposisi dan pola kerja di kabinetnya.

Mengakhiri Perilaku Dekonstitusi
Secara konstitusional tata cara pengisian kabinet sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 17 UUD 1945 perubahan, yaitu: (1) menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara; (2) menyatakan bahwa menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; dan (3) menyatakan bahwa setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 perubahan secara tegas menyatakan bahwa Presiden adalah kepala pemerintahan. Keberadaan menteri sebagai pembantu Presiden untuk membantu tugas-tugas pemerintahan dalam pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak prerogatif Presiden.

Dengan demikian, sejatinya segala kegaduhan antara menteri-menteri di kabinet hari ini dapat dikatakan sebagai tindakan pengingkaran terhadap konstitusi atas posisi Presiden sebagai atasan dari menteri-menteri serta penghormatan atas posisi Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Kegaduhan yang terjadi berulang kali itu, jika dipahami sedari awal, sejatinya dapat terbaca. Karena komposisi kabinet yang dipilih oleh Presiden Jokowi, baik itu komposisi awal maupun setelah reshuffle pertama, dapat terlihat terlalu akomodatif dan kompromistis. Sifat akomodatif dan kompromistis tersebut jika ditelisik lebih dalam dapat terlihat tidak hanya secara latar belakang politik, tapi juga garis pemikiran (visi) para menteri yang beragam.

Maka, ke depan semestinya Presiden Jokowi harus menyadari dua hal penting untuk mewujudkan kabinet yang harmonis dan memperkuat kerja pemerintah. Pertama, sejak awal harus disadari oleh Presiden bahwa dalam sistem presidensial, Presiden memiliki kewenangan yang kuat dalam pemerintahan. Dengan demikian, sifat akomodatif dan kompromistis terhadap partai pendukung dengan memberikan jatah kursi menteri harus segera dihilangkan.

Keberadaan kader partai dalam kabinet hanya akan melahirkan dualisme kepemimpinan bagi para menteri yang juga kader partai. Sebab, selain harus mengikuti instruksi presiden, menteri yang berlatar belakang politisi tentu juga akan mendapatkan instruksi khusus dari partai. Inilah yang bisa mengganggu iklim kerja dalam kabinet/pemerintahan.

Jadi, sepanjang Presiden Jokowi memahami kewenangan dan posisinya dalam sistem presidensial, barter kursi menteri karena adanya ketakutan akan dukungan politik di DPR untuk melahirkan kebijakan hingga ancaman impeachment pun seharusnya bukan menjadi alasan. Dalam konteks ini, seperti ditegaskan Richard Neustadt (1960:45), Presiden memiliki posisi tawar yang sangat kuat. Sebab, baik DPR maupun Presiden sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat.

Memenangkan hati rakyat jauh lebih penting, apalagi memiliki pengaruh besar, dan tentu bermanfaat bagi bangsa dan negara daripada memenangkan segelitir kelompok politik atau politisi.

Kedua, hal penting yang perlu disadari oleh Presiden Jokowi adalah bagaimana menempatkan orang-orang yang memiliki garis pemikiran atau visi yang sama. Sebab, ini tidak hanya akan menentukan keharmonisan dalam kabinet, tapi juga akan menentukan bagaimana membangun ritme kerja (efektivitas) serta mengukur tingkat keberhasilan dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan visi dan misi pemerintahan.

Merujuk pengisian jabatan menteri di Amerika Serikat, misalnya, presiden yang berasal dari Partai Demokrat dengan garis pemikiran yang moderat tentu tidak akan pernah mengangkat menteri dengan garis pemikiran yang konservatif. Sebab, pemikiran konservatif merupakan corak dari Partai Republik. Hal tersebut juga akan berlaku sebaliknya jika yang menjadi presiden berasal dari Partai Republik.

Kini kita menunggu apa tindakan yang akan diambil Presiden Jokowi setelah kegaduhan kembali muncul antar menteri terkait dengan proyek pengembangan Blok Masela. Juga beberapa waktu sebelumnya ketika partai-partai yang dulu mengaku sebagai oposisi kini berbalik menyatakan mendukung pemerintahan.

Apakah Presiden Jokowi akan semakin akomodatif dan kompromistis atau secara perlahan maupun tegas mengambil sikap? Padahal, sekali lagi, posisi dan kewenangan Jokowi dalam sistem presidensial sangat kuat.

 

 

                                                                                                                                                                                                                                                      

Add a comment

Hatta

Yamin

SEKRETARIAT PUSAKO FH-UNAND

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Lt II Gedung Bersama Dekanat Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Telp/Fax : 0751-775692 E-mail : sekretariat@pusako.or.id Twitter : @PUSaKO_UNAND