Friday, April 19, 2024

Kampanye Dengan Fasilitas Negaraa

KAMPANYE DENGAN FASILITAS NEGARA

Oleh :  Khairul Fahmi

Harian Media Indonesia, 1 April 2014 

Dalam sepekan terakhir, tahapan kampanye pemilu legislatif yang tengah berlangsung dihiasi kontroversi penggunaan fasilitas negara oleh Presiden SBY. Sebagian kalangan menilai, penggunaan pesawat yang disewa menggunakan uang negara untuk keperluan perjalanan Presiden SBY – dalam kapasitas sebagai Ketum Partai Demokrat – berkampanye merupakan pelanggaran. Sebab, status cuti di luar tanggungan negara yang sedang digunakan SBY, “mengharamkan”-nya untuk menggunakan semua fasilitas yang berhubungan dengan jabatan Presiden. Sementara kalangan istana menilai Presiden SBY sangat saat aturan. Di mana, semua fasilitas yang digunakan ketika bertolak ke gelanggang kampanye masih termasuk dalam paket pengamanan melekat bagi seorang Presiden.

Sehubungan dengan itu, yang menjadi soal, apakah “fasilitas yang berkaitan dengan jabatan” sama sekali tidak dapat dibedakan atau dipisahkan dari “fasilitas pengamanan bagi pejabat negara”? Hal ini penting ditelusuri karena apa yang dijelaskan pemerintah melalui Menkopolhukam dan Mensesneg di atas seakan mengaburkan pembedaan antara keduanya. Penjelasan yang diberikan seolah memosisikan fasilitas jabatan bagian dari fasilitas pengamanan bagi pejabat negara yang tidak dapat ditanggalkan dari seorang Presiden.

Fasilitas Negara    

Jika ditelusuri secara seksama, UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD memakai empat istilah yang berkaitan dengan penggunaan fasilitas negara dalam berkampanye, yaitu : “fasilitas pemerintah”, “fasilitas negara”, “fasilitas yang berkaitan dengan jabatan”, dan “fasilitas pengamanan bagi pejabat negara”.

Frasa “fasilitas pemerintah” digunakan untuk memberikan larangan bagi setiap peserta pemilu menggunakan tempat atau gedung milik pemerintah sebagai tempat atau ruang kampanye. Sementara “fasilitas negara” muncul dalam penjelasan Pasal 86 ayat (2) huruf e UU No 8/2012 terkait larangan bagi pegawai negeri sipil untuk bertindak sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara. Sementara istilah “fasilitas yang berkaitan dengan jabatan” digunakan terkait ketentuan kampanye yang melibatkan Presiden, Wakil Presiden, menteri, kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di mana, segala fasilitas yang berkaitan dengan jabatan tersebut dilarang untuk dipergunakan. Adapun “fasilitas pengamanan” hadir sebagai pengecualian dari fasilitas yang tidak dapat dipakai Presiden, Wakil Presiden, menteri, kepala daerah dan wakil kepala daerah selama berkampanye.

Dari semua itu, UU tidak membedakan secara tegas antara fasilitas pemerintah dan fasilitas negara. Sebab, frasa “fasilitas negara” justru muncul dalam ketentuan terkait larangan bagi pegawai negeri sipil. Di mana, hal itu juga dapat diartikan sebagai larangan penggunaan fasilitas pemerintah yang berada di bawah penguasaan seorang pegawai negeri sipil. Sehingga, cukup sulit untuk memilah, apa yang dimaksud dengan fasilitas negara, dan mana pula yang dipahami sebagai fasilitas pemerintah dalam UU Pemilu.

Sementara untuk “fasilitas jabatan” dan “fasilitas pengamanan”, UU Pemilu cukup tegas membedakannya. Pembedaan dimaksud bukan terbaca dari adanya defenisi yang secara jelas dinyatakan, melainkan karena UU Pemilu menempatkan yang satu sebagai pengecualian bagi yang lain. Di mana, fasilitas pengamanan merupakan pengecualian dari penggunaan fasilitas jabatan yang melekat pada seorang pejabat negara.

Konstruksi norma pengecualian sebagaimana dimuat dalam Pasal 87 ayat (1) UU No 8/2012 di atas harus dipahami demikian adanya. Sebab, ketentuan tersebut sangat jelas, tegas dan tidak multitafsir. Dengan begitu, apapun fasilitas yang melekat pada jabatan seorang pejabat negara, termasuk Presiden dan Wakil Presiden sama sekali tidak diperkenankan untuk digunakan berkampanye.

Jika ditelisik lebih jauh, fasilitas jabatan yang melekat pada seorang Presiden dan Wakil Presiden meliputi : biaya rumah tangga, perawatan kesehatan pribadi dan keluarga, biaya pelaksanaan tugas, rumah kediaman, kendaraan dan pengamanan. Dari sekian banyak yang disediakan, biaya pelaksanaan tugas dan kendaraan merupakan dua jenis fasilitas yang sangat rawat disalahgunakan untuk keperluan kampanye.

Penggunaan fasilitas kendaraan yang dibiayai negara begitu niscaya untuk diklaim sebagai bagian dari fasilitas pengamanan. Kasus penggunaan pesawat atas biaya negara untuk keperluan perjalanan SBY  dalam kampanye Partai Demokrat merupakan indikasi ke arah sana. Pengamanan dijadikan kambing hitam untuk memanfaatkan fasilitas kendaraan jabatan Presiden ketika hendak turun ke arena kampanye.

Tidak dapat dibantah, walaupun SBY sedang dalam status cuti di luar tanggungan negara, namun jabatan Presiden Republik Indonesia tetap melekat padanya. Sehingga, keselamatan Presiden SBY wajib dijaga. Dalam konteks ini, tidak satupun dari standar prosedur pengamanan Presiden yang ada dapat ditinggalkan, termasuk ketika SBY akan berkampanye. Pengamanan mesti tetap dilakukan layaknya pengamanan bagi seorang Presiden.

Walaupun demikian, bukan berarti kondisi tersebut membolehkan SBY sebagai Ketum Partai Demokrat menggunakan fasilitas negara untuk keperluan kampanye. Kendaraan yang dipergunakan mesti tetap menjadi tanggungan partai, bukan negara. Negara hanya dapat dibebani biaya pengamanan, tidak lebih dari itu. Sebab, sebatas itulah negara diposisikan bertanggungjawab untuk menjaga keselamatan jiwa Presiden beserta keluarganya. Pada saat bersamaan, di sanalah batas demarkasi antara “fasilitas yang melekat pada jabatan” dan “fasilitas pengamanan” seorang Presiden yang ikut serta dalam kampanye.             

Tindak Lanjut

Menyangkut keikutsertaan pejabat negara dalam kampanye, batas pemisah antara fasilitas jabatan dan fasilitas pengamanan itulah yang mesti dijaga dan diawasi oleh Bawaslu. Sebab, titik rawan penyimpangan ada di sana. Alibi bahwa fasilitas pesawat sewaan negara sebagai fasilitas pengamanan yang melekat sangat tidak relevan dan harus dikesampingkan. Tidak satupun ketentuan, baik yang berhubungan dengan pemilu maupun  pengamanan Presiden yang dapat dijadikan alasan pembenar untuk itu.

Oleh karenanya, diperlukan tindaklanjut terhadap kasus ini. Sehubungan dengan itu, terdapat dua kemungkinan pelanggaran yang terjadi. Pertama, dugaan pelanggaran administrasi. Di mana, apabila terbukti, pelanggaran tersebut harus segera dihentikan agar negara tidak dirugikan. Pada saat bersamaan, peserta pemilu lainnya juga tidak dirugikan akibat “keuntungan” menggunakan fasilitas negara oleh salah satu parpol peserta pemilu. Kedua, terdapat indikasi tindak pidana pemilu. Pemakaian uang negara untuk sewa pesawat guna keperluan kampanye dapat digolongkan sebagai menggunakan dana kampanye yang berasal dari pemerintah. Di mana, perbuatan tersebut secara tegas dilarang dan disertai ancaman pidana dalam UU Pemilu.

 

Terlepas dari apapun hasil pemeriksaannya, yang amat diperlukan adalah sikap tegas Bawaslu. Setiap peserta pemilu, tidak pandang apakah partai pimpinan Presiden sekalipun mesti diperlakukan sama dengan peserta pemilu lainnya. Membiarkan dugaan pelanggaran tersebut berlalu begitu saja, sama halnya membiarkan Pemilu 2014 berjalan secara tidak fair.

Add a comment

Selamatkan Jalan Hakim MK

Selamatkan Jalan Hakim MK

oleh : Saldi Isra

Kompas, Senin , 24 February 2014

Meski melihat pergerakan cepat dan kesan terburu-buru selama proses persidangan, saya sama sekali tak percaya Mahkamah Konstitusi akan membatalkan dan menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2014 tak punya kekuatan mengikat.

Jika ada di antara materi permohonan yang dikabulkan, dalam batas penalaran yang wajar, tak mungkin semua substansinya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 alias inkonstitusional. Dengan cara berpikir sederhana, hakim-hakim konstitusi pasti tak mau berjudi dengan segala penilaian miring yang muncul jika mengabulkan semua logika pemohon guna membatalkan UU No 4/2014. Sebagaimana dikutip Kompas (13/2), mengabulkan pemohon menjadi pertaruhan kredibilitas institusi MK. Apalagi sebagian pasal yang dipersoalkan pemohon berkaitan langsung  dengan kepentingan hakim konstitusi. Nyatanya, bertolak belakang dengan keyakinan itu, Kamis (13/2), dengan suara bulat lewat Putusan No 1-2/PUU-XII/2014, delapan hakim konstitusi membatalkan keberlakuan UU No 4/2014 dan menyatakannya tak punya kekuatan hukum mengikat. Dengan putusan itu, semua gagasan besar demi perbaikan MK yang diusung UU No 4/2014 kandas di tangan hakim konstitusi.

Menolak sikap presiden

Dengan melacak persoalan dari awal, tak mungkin menghilangkan keterkaitan sikap hakim konstitusi via putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dengan langkah-langkah yang dilakukan Presiden SBY setelah tertangkap tangannya Akil Mochtar (3/10/2013). Kejadian awal yang memicu ”protes” di kalangan hakim konstitusi adalah ketika Presiden mengadakan pertemuan dengan semua ketua lembaga negara untuk membahas MK pasca-penangkapan Akil. Bisa jadi protes di kalangan hakim konstitusi karena mereka ditinggalkan dan tak diajak bicara untuk sesuatu yang berkaitan langsung dengan nasib MK. Padahal, di dalam pertemuan itu, Presiden didorong melakukan langkah darurat untuk menyelamatkan MK. Selain itu, dengan tak mengundang MK dalam ”pertemuan darurat” tersebut, hakim konstitusi merasa tersudut di tengah turbulensi penangkapan Akil Mochtar.

Tindak lanjut langkah darurat yang disepakati dalam pertemuan para ketua lembaga negara, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013. Kegerahan hakim konstitusi kian memuncak dengan munculnya frasa ”akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi” dalam konsiderans menimbang Perppu No 1/2013 versi pertama yang diedarkan ketika diumumkan di Yogyakarta.

Sekalipun versi pertama Perppu No 1/2013 menghilang dari peredaran dan frasa itu menghilang dari draf resmi versi pemerintah, hakim konstitusi tetap saja tak  bisa menerima penilaian seperti itu. Bagi mereka, peristiwa yang menimpa Akil tak dapat dijadikan alasan mendegradasi delapan hakim yang lain dengan mengatakan bahwa telah terjadi kemerosotan integritas hakim konstitusi. Bahkan, melihat suasana di MK ketika itu, hampir saja dimulai perang terbuka antara hakim MK dan pemerintah.

Beruntung MK masih memilih jalan teduh, keberatan mereka terhadap frasa konsiderans menimbang tersebut disampaikan langsung via telepon kepada Menko Polhukam Djoko Suyanto.

Merujuk penjelasan di atas, sulit dibantah rentetan peristiwa ini lebih dari cukup untuk membentuk sikap hakim konstitusi dalam menghadapi substansi Perppu No 1/2013. Paling tidak, secara implisit, sikap ini dapat dilacak dari beberapa nukilan Putusan No 1-2/PUU-XII/2014. Karena itu, boleh jadi hakim konstitusi termasuk yang berharap Perppu No 1/2013 tak dapat persetujuan DPR. Bagaimanapun dengan disetujui DPR, permohonan uji materi (judicial review) UU No 4/2014 tentang  Penetapan Perppu No 1/2013 MK seperti menerima gelindingan bola panas dari DPR.

Sepanjang lebih dari sepuluh tahun kehadirannya, lembaga ini telah berulang kali menguji UU MK. Dalam hal ini, salah satu asas umum beracara yang selalu dihadapkan kepada MK, ”seseorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judexidoneus in propria causa).  Secara sederhana, keinginan mempertahankan asas ini lebih pada kemungkinan mencegah tertumpangnya kepentingan individu hakim atas perkara yang diajukan kepadanya. Penerapan asas ini sama sekali tak berarti bahwa MK dilarang mengadili UU MK sendiri. Dalam hal ini, argumentasi MK dapat dipahami: jika MK dilarang menguji UU yang mengatur tentang MK, lembaga ini akan jadi sasaran empuk untuk dilumpuhkan melalui pembentukan UU demi kepentingan kekuasaan, terutama kepentingan politik pembentuk UU.

Dengan argumentasi itu, mestinya hakim konstitusi mampu membedakan substansi UU yang berpotensi melumpuhkan kewenangan institusi dengan pengaturan terkait individu hakim.

Misalnya, jauh hari sebelumnya, Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyatakan bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji materi ke MK adalah yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. Sebagaimana diketahui, melalui Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, MK mengesampingkan batasan waktu dalam Pasal 50 UU No 24/2003. Langkah mengesampingkan ini tak menjadi perdebatan  utama karena Pasal 50 itu jelas tak sejalan dengan wewenang MK menguji UU sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Begitu pula Pasal 45A UU No 8/2011 tentang Perubahan Pertama UU No 24/2003 yang menyatakan bahwa putusan MK tak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon, atau melebihi permohonan pemohon, terkecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok perkara.

Sebagaimana halnya Pasal 50, ketentuan Pasal 45A telah diuji dan dibatalkan dengan Putusan MK No 48/PUU-IX/2011. Selain bertentangan dengan semangat awal munculnya gagasan uji materi, larangan dalam Pasal 45A UU No  8/2011 berpotensi menggerus wewenang MK.

Dengan memaknai secara tepat maksud di balik pengabulan permohonan pengujian Pasal 50 dan Pasal 45A, pengujian atas UU MK jelas memiliki bingkai argumentasi logis. Sekalipun masih mungkin diperdebatkan, upaya hakim konstitusi menerobos asas nemo judexidoneus in propria causa adalah demi menyelamatkan terancamnya wewenang lembaga yang diberikan UUD 1945. Apabila diletakkan dalam konteks lebih luas, membatalkan bagian tertentu dari UU yang berpotensi merusak wewenang MK adalah bagian dari mempertahankan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, upaya menerobos asas itu jadi kehilangan basis logika yang dapat dipertanggungjawabkan jika materi UU MK yang diuji terkait langsung dengan kepentingan individu hakim konstitusi. Misalnya, MK pernah pula menguji batas maksimum usia untuk jadi calon hakim konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 15 UU No 8/2011 mengatur batas usia paling tinggi untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi adalah 65 tahun. Kemudian dengan menggunakan alasan batasan itu dinilai menghalangi hak seseorang yang telah duduk sebagai hakim konstitusi, ketentuan tersebut dibatalkan MK (Kompas, 15/02).

Menjaga MK

Secara terang-benderang, putusan ini jelas punya kepentingan langsung dengan salah seorang hakim konstitusi. Karena itu pilihan menerobos asas nemo judexidoneus in propria causa jadi kehilangan basis logika yang dapat diterima dalam batas penalaran yang wajar. Untungnya, dalam putusan batasan umur maksimal ini, masih ada dua hakim konstitusi (Harjono dan Maria Farida) yang memiliki sensitivitas dengan memilih pendapat berbeda (dissenting opinion).

Sebetulnya, apabila mau agak sedikit bertenang-tenang membaca Perppu No 1/2013 yang ditetapkan dengan UU No 4/2014, substansinya jelas bertujuan menjaga MK sebagai sebuah institusi. Upaya menjaga ini didesain begitu rupa: mulai dari pembenahan persyaratan menjadi hakim konstitusi, melakukan proses seleksi yang transparan dan akuntabel, sampai menjaga perilaku hakim konstitusi dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) bersifat permanen.

Berkaitan syarat ”tidak menjadi anggota partai politik  dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi”, tambahan ini seharusnya dibaca sebagai langkah strategis untuk mencegah dominasi aktivis parpol jadi hakim konstitusi. Dengan dibatalkannya syarat ini dalam waktu dekat, sangat mungkin mayoritas hakim konstitusi akan disesaki kalangan partai. Bahkan, suatu waktu nanti, jika ada sebuah partai menjadi kekuatan mayoritas (50 persen lebih) di DPR dan partai bersangkutan juga memegang posisi presiden, sangat mungkin enam hakim konstitusi akan berasal atau didukung dari partai sama. Bilamana itu benar-benar terjadi, sangat mungkin MK mengalami kelumpuhan. Karena itu, banyak kalangan sulit menerima ketika tak satu pun hakim konstitusi melakukan dissenting opinion dengan pembatalan syarat ini. Padahal, masih segar dalam ingatan ketika mayoritas hakim yang ada sekarang dengan suara bulat memutuskan jarak waktu lima tahun berhenti dari partai bagi calon anggota KPU dan anggota Bawaslu. Karena itu, membatalkan syarat tujuh tahun dengan menerobos asas nemo judexidoneus in propria causa tindakan kebablasan.

Begitu pula dengan perbaikan proses seleksi, dengan desain yang ditawarkan dalam UU No 4/2014, banyak kalangan percaya kita punya peluang menghadirkan hakim lebih kredibel. Dengan proses terbuka, selain memberi ruang bagi masyarakat berpartisipasi, peran panel ahli dapat jadi tahapan penting menilai kemampuan calon hakim konstitusi. Dalam hal ini, meski dipersyaratkan memiliki ijazah doktor, secara substansi belum tentu ijazah itu sekaligus mencerminkan kemampuan sesungguhnya.

Apalagi, sudah jadi rahasia umum, banyak fasilitas untuk meraih doktor tanpa harus melalui proses yang berdarah-darah. Yang paling menyedihkan, upaya membentuk MKHK yang permanen juga kandas dalam Putusan MK No 1-2/PUU-XII/2014.

Padahal, MKHK amat diperlukan untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tak tercela hakim konstitusi. Bagaimanapun, dengan luas wewenang yang dimiliki MK, lembaga penjaga kode etik menjadi kebutuhan yang mendesak. Jika tidak, pengalaman Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi dan Akil Mochtar sangat mungkin terulang kembali.

Kini, dengan pembatalan UU No 4/2014, upaya menjaga MK secara sistematis dari hulu sampai hilir sulit diwujudkan. Karena itu, ketika desain perbaikan tertolak palu hakim, kita tetap harus berpikir keras menjaga dan merawat MK sebagai institusi.

Apabila harus memilih, penyelamatan MK jauh lebih lebih penting daripada penyelamatan hakim konstitusi. Apalagi, hari-hari ke depan kita harus sedikit menahan napas mengikuti proses persidangan Akil. Semoga keterangan Akil tak kian menggerus posisi MK.

(Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

 

 

 

Add a comment

DUALISME PENYELENGGARA PEMILU

DUALISME PENYELENGGARA PEMILU

oleh : KHAIRUL FAHMI

Harian Media Indonesia, 22 Agustus 2013

Perkembangan rancang bangun kelembagaan penyelenggara pemilu yang sudah sampai pada titik di mana KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu diletakkan dalam satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu patut diapresiasi. Desain kelembagaan yang demikian setidaknya akan berkonstribusi memperbaiki ketidakseimbangan selama ini, di mana salah satu lembaga menjadi subordinat bagi yang lain. Sehingga pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu sulit dilakukan secara maksimal.

Pada saat bersamaan, format yang demikian juga akan mendorong terciptanya sebuah mekanisme saling kontrol antar penyelenggara pemilu. Kesempatan KPU dan jajaran untuk berlaku curang akan semakin kecil karena adanya pengawasan dari institusi yang “sama kuatnya” dengan KPU. Begitu pula dengan Bawaslu, lembaga pengawas ini pun harus menjaga diri agar terhindar dari tindakan tidak profesional dalam melaksanakan tugas karena juga diawasi Dewan Kehormatan. Tatanan seperti itu sengaja dibangun untuk lebih memberikan jaminan bahwa pemilu yang jujur dan adil dapat diwujudkan.

Hanya saja, menggapai cita-cita yang demikian bukan perkara gampang. Sebab, dalam posisi setara, benturan antar penyelenggara pemilu bukan hal yang mustahil. Penyelenggaraan dua tahapan pemilu legislatif terakhir membuktikan betapa gesekan tajam antara KPU dan Bawaslu nyata adanya. Kondisi tersebut tidak dapat lagi dinilai hanya sekedar dinamika hubungan kelembagaan semata. Melainkan sudah masuk pada ranah hubungan kelembagaan yang kurang sehat dalam penyelenggaraan pemilu.

Dikatakan kurang sehat karena jika kondisi seperti ini terus dipertahankan, bukan tidak mungkin akan dimanfaat peserta pemilu untuk mengais keuntungan politik dari buruknya hubungan KPU-Bawaslu. Salah satu contoh, siteru antara KPU dan Bawaslu dalam menyelesaikan persoalan caftar calon sementara legislatif. Bawaslu membatalkan keputusan KPU tentang penetapan daftar calon sementara terkait sejumlah partai politik yang dinyatakan tidak memenuhi syarat di beberapa daerah pemilihan. Di satu pihak, KPU berpendapat, segala keputusan yang diambil telah didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara Bawaslu menilai keputusan KPU tersebut sudah benar, namun tidak adil (Kompas, 11/07). Sehingga keputusan tersebut pun dibatalkan.

Tidak ada perlawanan dari KPU atas putusan Bawaslu, karena Undang-Undang menegaskan, keputusan Bawaslu bersifat terakhir dan mengikat dalam penyelasaian sengketa pemilu. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada persoalan. Sifat final keputusan Bawaslu telah menegasikan keharusan adanya koreksi atas putusan Bawaslu. Apapun yang diputus Bawaslu tidak dapat dibantah. Terlepas apakah benar atau tidak, keputusan tersebut harus dijalankan sekalipun mungkin telah menyimpang dari ketentuan yang digunakan KPU dalam melakukan verifikasi dan penetapan calon anggota legislatif sementara. 

Tiga Catatan 

Pengalaman penyelenggaraan tahapan Pemilu 2014 yang tengah berjalan setidaknya sudah meninggalkan tiga catatan penting. Pertama, terjadi pergeseran pendulum keseimbangan hubungan antar penyelenggara pemilu. Desain awal kelembagaan penyelenggara pemilu yang menempatkan KPU superior atas Bawaslu bergeser ke kondisi sebaliknya. Di mana Bawaslu terlihat lebih superior dibanding KPU. Setidaknya, kesan itu muncul dalam penyelesaian sengketa pemilu yang menempatkan keputusan Bawaslu final dan mengikat.  KPU “dipaksa” melaksanakan putusan Bawaslu sekalipun putusan bersebut dalam ukuran-ukuran tertentu dapat dikatakan bermasalah.

Kedua, pada saat bersamaan, pelaksanaan tugas masing-masing institusi penyelenggara pemilu masih diwarnai ego sektoral yang destruktif. Belum didasarkan pada semangat dan kearifan untuk mewujudkan kesuksesan pemilu sesuai asas jujur dan adil. Ego tersebut juga terlihat dalam proses pembatalan keputusan KPU terkait daftar calon sementara yang menggugurkan partai politik di sejumlah daerah pemilihan. Dalam hal ini, Bawaslu menilai peraturan yang digunakan KPU sebagai dasar memutus pengguguran parpol peserta pemilu di sejumlah daerah pemilihan tidak adil bagi caleg yang memenuhi syarat. Lalu, untuk maksud menegakkan keadilan pemilu, Bawaslu membatalkan keputusan KPU yang dibuat sesuai Peraturan KPU yang mengatur pencalonan anggota legislatif.

Jika aturan yang hendak dipersoalkan, mengapa sedari awal peraturan tersebut dibiarkan begitu saja? Bagi partai-partai yang merasa diperlakukan tidak adil, kenapa tidak mencegahnya pada saat proses konsultasi pembentukan peraturan di DPR? Untuk Bawaslu, sudahkah proses pembentukan peraturan KPU diawasi secara benar, sehingga peraturan tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi peserta pemilu? Membiarkan Peraturan KPU yang tidak adil, lalu kemudian mempersoalkannya pada saat dilaksanakan bukankah hanya sebuah wujud sikap kurang fair yang akan berdampak pada kebaikan penyelenggaan pemilu?

Ketiga, keengganan menyelesaikan masalah menurut kanal-kanal yang tersedia. Dalam arti, apabila terdapat materi muatan peraturan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan rasa keadilan, jalan keluar bukanlah menabraknya, melainkan melakukan pengujian terhadap materi yang dianggap bermasalah. Bahkan untuk peraturan selevel peraturan KPU tersedia mekanisme pencegahan agar tidak menyimpang dari materi yang seharusnya dimuat, yaitu : konsultasi dengan DPR dan Pemerintah sebelum peraturan KPU ditetapkan, dan pengawasan oleh Bawaslu terhadap tahapan penyusunan peraturan pelaksana penyelenggaraan pemilu. Pada kenyataan, semua ingin instan. Masalah yang terjadi hanya diselesaikan untuk jangka pendek, namun melupakan dampak buruk jangka panjang dari keputusan penyelesaian masalah yang diambil.

Tiga catatan di atas patut segera dijawab secara bersama oleh KPU dan Bawaslu. Keseimbangan hubungan harus segera diciptakan dengan membangun kesepahaman bersama terkait ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam menyelenggarakan tahapan pemilu. Selain itu, kearifan untuk membangun dua lembaga dalam satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu mestilah dibangun secara sadar oleh setiap penyelenggara pemilu. Kiranya, hanya inilah jalan untuk segera mengakhiri dualisme penyelenggara pemilu yang sudah ditabuh. Dengan jalan ini pula, harapan terselenggaranya Pemilu 2014 yang jujur dan adil tetap dapat dipelihara. 

 

 

Add a comment

Hatta

Yamin

SEKRETARIAT PUSAKO FH-UNAND

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Lt II Gedung Bersama Dekanat Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Telp/Fax : 0751-775692 E-mail : sekretariat@pusako.or.id Twitter : @PUSaKO_UNAND