Friday, May 17, 2024

Ketika KPK Berada di Tubir Jurang

Ketika KPK Berada di Tubir Jurang

Saldi Isra,

Media Indonesia 1 Juni 2015 

 

PERJALANAN waktu sekitar lima bulan terakhir benar-benar menjadi mimpi buruk lembaga antirasuwah Komisi Pemberantasan Korupsi. Paling tidak, dalam bulan-bulan tersebut, lembaga yang diberi otoritas khusus untuk memberantas korupsi itu seperti berjuang sendiri guna menghadapi serangan mematikan dari berbagai penjuru mata angin. Bahkan, bila mengikuti perkembangan dari hari ke hari, boleh jadi, lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 itu tengah menunggu nasib serupa dengan lembaga antikorupsi yang pernah ada, yaitu tengah menunggu kematian.

Seperti masuk lingkaran sejarah yang selalu berulang (l’histoire se repete), tragedi yang menimpa KPK seperti akan mengulangi ujung tragis dari lembaga-lembaga antirasywah yang pernah ada untuk memberantas korupsi. Misalnya, di awal kekuasaan Orde Baru, Tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk melalui Keppres No 28/1967 dengan fungsi represif dan preventif harus gulung tikar di tengah kuatnya praktik perekonomian perkoncoan di tubuh pemerintah. Bahkan, pada 1970, pembentukan Komisi Empat yang dipimpin mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta juga mengalami kondisi layu sebelum berkembang.

Perkembangan berikutnya, nasib tak jauh berbeda juga dialami Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Dalam posisi lembaga `sementara' yang dibuat Presiden Abdurrahman Wahid melalui PP No 19/2000, melalui pengajuan judicial review, Mahkamah Agung membatalkan dasar hukum pembentukan TGPTPK. Pembatalan tersebut menyebabkan lembaga itu berakhir sebelum mampu menunjukkan capaian yang berarti dalam memberantas tindak pidana korupsi, termasuk kemungkinan membongkar balutan penyalahgunaan wewenang di sekitar megaskandal BLBI.

Setelah rentetan kejadian itu, harapan besar memberangus korupsi tumbuh subur dengan pembentukan KPK. Dengan segala wewenang yang diberikan UU No 30/2002, KPK mampu menyentuh hampir semua lembaga yang dalam waktu cukup lama tidak tersentuh oleh lembaga penegak hukum konvensional. Namun, sepak terjang yang mungkin di luar perkiraan banyak kalangan menimbulkan resistensi terhadap KPK. Karena langkah itu, KPK harus berjuang melawan keganasan zaman yang makin hari kian tak nyaman dengan KPK. Sejauh ini, KPK bekerja dalam dua arah sekaligus: memberantas korupsi dan sekaligus berjuang menghadapi tekanan yang nyaris tidak pernah surut.

Kriminalisasi

Sejak muncul kekhawatiran terhadap sepak terjang KPK, banyak kalangan menilai bahwa manuver kekuatan-kekuatan politik di DPR menjadi ancaman serius bagi kelangsungan lembaga antirasywah ini. Salah satu bentuk ancaman yang diperkirakan sangat potensial dilakukan ialah memangkas wewenang KPK dalam UU No 30/2002. Apabila diikuti dan dilacak perkembangan sekitar sewindu terakhir, keinginan memangkas wewenang KPK nyaris tidak pernah surut. Bahkan, sebagai bagian dari keinginan tersebut dibangun pula pandangan bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc.

Namun, setelah keinginan tersebut berlangsung begitu lama, upaya merevisi UU No 30/2002 tidak mudah dilakukan. Salah satu penyebabnya, kelompok masyarakat yang sejak semula sangat mendukung eksistensi keberlanjutan agenda pemberantasan korupsi secara konsisten melakukan perlawanan terhadap setiap keinginan membatasi wewenang KPK. Selain itu, secara konstitusional, upaya mengubah sebuah undang-undang tak hanya dapat ditentukan secara tunggal oleh kekuatan-kekuatan politik di DPR. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945, proses legislasi selalu memerlukan keterlibatan eksekutif.

Artinya, bilapun semua kekuatan politik di DPR menghendaki perubahan UU No 30/2002 dengan maksud mengurangi wewenang KPK, selama pemerintah tak memiliki keinginan serupa, perubahan tidak akan terjadi. Terbukti, sejak munculnya wacana untuk merevisi UU No 30/2002 keinginan sebagian kekuatan politik di DPR tidak berjalan karena pemerintah (baca: presiden) memiliki pandangan berbeda. Paling tidak, dengan pandangan berbeda pihak pemerintah, KPK terselamatkan dari segala upaya yang mencoba menggunakan jalur legislasi.

Ketika ancaman melalui proses legislasi tidak mudah direalisasikan, kriminalisasi benar-benar menggoyahkan KPK. Dimulai dari kasus cecak vs buaya jilid I sampai cecak vs buaya jilid II. Pada kasus pertama, pimpinan KPK Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah mengalami kriminalisasi terkait dengan kasus yang melibatkan Anggodo Widjojo. Dalam kasus itu, polisi sengaja mencari-cari kesalahan kedua pimpinan KPK agar bisa dijadikan tersangka sehingga memiliki dasar hukum menonaktifkan mereka. Dugaan kriminalisasi menggunakan institusi kepolisian `membunuh' KPK ternyata benar karena hasil temuan Tim 8 membuktikan tidak cukup bukti menetapkan Bibit-Chandra sebagai tersangka.

Begitu pula dengan jilid II, ujung dari langkah KPK membongkar indikasi korupsi driving simulator memicu ketegangan baru KPK dengan institusi kepolisian. Berawal dari rebutan penanganan kasus tersebut, muncul kriminalisasi baru terhadap penyidik KPK. Beruntung, ujung kejadian driving simulator ini tidak sampai menghentikan langkah KPK dalam memberantas korupsi. Meskipun tidak berujung pada kelumpuhan KPK, peristiwa itu telah menyeret kedua lembaga dalam ketegangan yang memilukan wajah penegakan hukum negeri ini.

Ibarat perseteruan yang tak pernah usai, ujung penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka dapat dikatakan sebagai titik kulminasi pertikaian KPK dan kepolisian. Tidak sebatas menetapkan dua pemimpin KPK Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka, perseteruan itu hampir berujung pada kriminalisasi berbagai elemen di KPK. Contoh terakhir dari rangkaian kriminalisasi tersebut ialah penetapan dan penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan.

Dari semua kejadian itu, rangkaian kejadian terakhir dapat dikatakan sebagai kejadian yang benar-benar membuat KPK porak-poranda. Dalam batas penalaran yang wajar, sejak penetapan Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka, KPK mati suri. Apalagi, banyak peristiwa yang muncul kemudian seperti by designmenggerus posisi KPK.

Misalnya, seorang penegak hukum dengan posisi sebagai Kabareskrim Polri merasa tidak memiliki kewajiban apa pun untuk menyampaikan laporan harta kekayaan kepada KPK. Selain menimbulkan penilaian yang tidak wajar, sikap tersebut sangat jelas menisbikan kewajiban hukum sebagai penyelenggara negara. Celakanya, ketidakpatuhan tersebut diaminkan wakil presiden.

Penyidik KPK

Selain soal ketegangan hubungan dengan kepolisian, hantaman terbaru yang menimpa KPK ialah serangkaian putusan hakim dengan menggunakan jalur praperadilan. Semua itu bermula dari dikabulkannya permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan. Ketika pintu praperadilan dibuka untuk mempersoalkan penetapan tersangka, dapat dipastikan penetapan tersangka oleh KPK akan menjadi sasaran utama untuk dimohonkan. Terbukti, setelah dikabulkan permohonan Budi Gunawan, KPK seperti mendapat tugas baru: menghadapi proses praperadilan. Semuanya semakin sulit dihindarkan setelah Mahkamah Konstitusi membenarkan penetapan tersangka menjadi objek praperadilan.

Dari beberapa putusan praperadilan yang dikabulkan, kekhawatiran tidak hanya pada terpecahnya fokus KPK, tetapi juga ancaman lumpuhnya lembaga itu karena dinilai melakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan hukum. Salah satu yang membuat resah KPK ialah adanya substansi putusan praperadilan dalam kasus Hadi Poernomo yang menyatakan penyelidik dan penyidik independen KPK dianggap menyalahi UU No 30/2002 alias ilegal. Tidak hanya putusan pengadilan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnadi pun memiliki pandangan serupa (Media Indonesia, 30/5).

Terkait dengan masalah itu, dengan menggunakan penafsiran sistematis, pendapat yang menyatakan KPK hanya dibatasi menggunakan penyelidik dan penyidik dari kepolisian dan kejaksaan tidak sejalan dengan UU No 30/2002. Ihwal masalah itu, dalam Penjelasan UU No 30/2002 dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2002 juga dalam UU No 30/2002 dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis).

Dari penjelasan tersebut, UU No 30/2002 memiliki hukum acara tersendiri, selain yang diatur dalam UU No 30/1999 maupun dalam ketentuan KUHAP. Di tengah `rimba' hukum acara, tentu asas hukum lex specialis derogat legi generalis akan menjadi acuan utama.

Misalnya, Pasal 21 ayat (4) UU No 30/2002 menyatakan pimpinan KPK juga merupakan penyidik dan penuntut umum. Ketentuan itu makin menegaskan kewenangan penyidik tidaklah monopoli kepolisian. Praktik selama ini, pimpinan KPK tak hanya berasal dari polisi, artinya selain polisi dapat menjadi penyidik. Dalam tataran praktik kewenangan penyidik ini tentu bisa dilaksanakan dan didelegasikan staf atau pegawai yang direkrut sendiri oleh KPK.

Secara hukum, ihwal penyidik KPK harusnya merujuk kepada ketentuan Pasal 43 dan 45 UU No 30/2002. Dinyatakan, penyelidik adalah penyelidik pada KPK diangkat dan diberhentikan KPK. Kemudian, penyelidik sebagaimana dimaksudkan ketentuan tersebut melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi. Sementara itu, penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Ditegaskan lagi, penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Kalaupun ada pembatasan, Pasal 51 ayat (1) UU No 30/2002 menyatakan penuntut berasal dari jaksa penuntut umum.

Berdasarkan penjelasan tersebut, isu pokok di sekitar penyelidik dan penyidik KPK ialah ada-tidaknya pengangkatan oleh pimpinan KPK. Sejauh diangkat, penyidik dapat menyidik kasus korupsi yang ditangani KPK. Dengan merujuk ketentuan itu pula, seorang penyidik yang berasal dari kepolisian pun tidak dapat menjadi penyidik KPK bila tidak diangkat pimpinan KPK. Karena posisi penyidik KPK bergantung pada pengangkatan pimpinan KPK, UU No 30/2002 mensyaratkan penyelidik dan penyidik yang berasal dari polisi dan jaksa diberhentikan sementara.

Terlepas dari perdebatan di sekitar masalah-masalah itu, sekiranya keinginan untuk mengurangi KPK tidak dihentikan, banyak celah yang dapat digunakan dan dasar argumentasinya dapat dicarikan sehingga kelihatan logis.

Namun, di tengah keberadaan KPK yang makin tidak menguntungkan, lembaga seperti kepolisian harus mengubah cara pandang mereka kepada KPK. Selain itu, pimpinan tertinggi negeri ini harus menunjukkan keberpihakan kepada KPK. Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat harus mau berdiri pada garda terdepan untuk melindungi KPK. Tanpa itu, tidak saja sulit menarik KPK menjauh dari tubir jurang, tetapi juga akan muncul praduga bahwa negara ini tidak pernah serius mengenyahkan korupsi.

 

Add a comment

Aksi yang Teramputasi

Aksi yang Teramputasi

Alex Karci Kurniawan

Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Imam Nawawi pernah berkata, barang siapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin lalu menunjukkan sikap rela, setuju, atau mengikuti kemungkaran tersebut, maka ia telah berdosa. Perkataan tersebut menunjukkan betapa pentingnya mengingatkan pemimpin jika melakukan suatu tindakan yang merugikan rakyat. Karena itu, perlu untuk selalu mengawal dan mengkritisi setiap kebijakan pemerintah jika dianggap tidak memihak kepada rakyat.

Tak heran jika demonstrasi sebagai aksi protes terhadap pemerintah menjadi pemandangan yang sering dijumpai di negeri ini. Demonstrasi adalah refleksi dari proses demokrasi. Berhubung demokrasi menghendaki adanya partisipasi masyarakat untuk mengawal jalannya pemerintahan, maka oleh karena itu demonstrasi dilakukan sebagai manifestasi kemerdekaan berekspresi dan menyampaikan gagasan.

Hal ini dijamin betul oleh konstitusi dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yakninya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Dalam prinsip Hukum Internasional menyampaikan pendapat tersebut juga dicantumkan dalam Article 9 The Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi: “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers”.

“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.

Maka dari itu, setiap aksi demonstrasi di negeri demokrasi ini tidak ada ceritanya harus meminta izin terlebih dahulu. Setiap orang yang hendak mengeluarkan pendapat dalam bentuk aksi di muka umum hanya perlu pemberitahuan kepada aparat keamanan, untuk mendapatkan pengamanan.

Namun, kemerdekaan berekspresi dan menyampaikan gagasan itu seakan teramputasi juga oleh undang-undang. Pasal 10 ayat (3) UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum mewajibkan pemberitahuan aksi selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai, telah diterima oleh Polri setempat.

Belakangan, hal ini telah menjelma menjadi dengan tindakan represif pembubaran paksa aksi damai Front Mahasiswa Nasional (FMN) Padang (yang digelar pada 1 Mei 2015) dan juga aksi Forum Peduli Pendidikan (FPP) (yang digelar pada 1 Mei 2015) oleh Mapolresta Padang.

Bermula dari aksi damai FMN Padang, yang berupa pembagian liflet ke jalan dekat bundaran Pos di Pasar Raya. Aksi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk merayakan Hari Buruh Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Sebanyak 200 lembar liflet berisi tuntutan hidup layak pada buruh telah disiapkan dan akan dibagikan kepada pengguna jalan.

Namun, baru sampai di trotoar dan hendak menyebrang ke tengah, ke lima massa aksi dicekal oleh pihak Mapolresta dan melarang massa aksi untuk melanjutkan aksi dengan alasan tidak memiliki izin dari kepolisian untuk melakukan aksi. Massa aksi digiring ke kantor Mapolresta Padang yang jaraknya kira-kira 50 meter dari titik aksi.

Halnya dengan FPP menggelar aksi damai di bundaran Jl M Yamin, Padang, dalam rangka memeringati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Sabtu (2/5/2015). Hujan yang mengguyur Kota Padang sejak pagi sabtu kelabu itu seakan merefleksikan kedukaan langit atas ulah aparat yang menghentikan paksa aksi FPP dalam menyuarakan perlawanan terhadap liberalisasi pendidikan.

Bayangkan, bagaimana hal ini dapat mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.

Padahal, UUD 1945 juga The Universal Declaration of Human Rights (yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka), telah menjamin kemerdekaan berekspresi dan menyampaikan gagasan bagi setiap lapisan masyarakat ‘tanpa batas-batas’.

 

Batas-batas itulah yang coba dijalin oleh Pasal 10 ayat (3) UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang mewajibkan pemberitahuan aksi selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai.

Tentu hal ini kontraproduktif dengan prinsip Kepolisian RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya senantiasa menjunjung tinggi hak asasi manusia (Lihat Pasal 19 ayat (1) UU No. 2/2002 tentang Kepolisian RI).

Maka dari itu, perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur, tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tentunya dalam rangka menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat.

 

Layaknya, Pasal Pasal 10 ayat (3) UU No. 9/1998, yang telah mengamputasi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat ini diuji materiilkan ke Mahkamah Konstitusi.

Add a comment

Paradigma Baru Praperadilan

Paradigma Baru Praperadilan

Agil Oktarial

Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Unand

Di tengah kritik putusan kontroversial Hakim Sarpin yang menjadikan penetapan tersangka bagian dari objek praperadilan, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga penengah “kisruh” pasca putusan itu justru bersikap jauh dari zona harapan publik. Alih-alih menolak permohonan, MK justru merestui penetapan tersangka masuk dalam rezim praperadilan.

Tidak hanya di titik itu, MK juga menempatkan penggeledahan dan penyitaan menjadi objek yang bisa dipraperadilkan. Jamak diketahui, sepeninggal MK mengeluarkan putusan No. 21/PUU-XII/2014, pandangan publik lansung bergerak pada dua pendapat pokok. Pertama, apakah setiap penetapan tersangka oleh penyidik dapat digugat ke pengadilan?

Menimbang MK telah memberikan kepastian hukum akan persoalan ini. Kedua, apakah pembatalan penetapan tersangka oleh hakim nantinya akan menghentikan penyidikan seperti halnya yang terjadi pada Komjen Budi Gunawan? 

Secara sadar harus dipahami, setelah putusan Sarpin, upaya menggagalkan tindakan penyidik melalui meja hijau telah diikuti beberapa tersangka korupsi lain seperti Suryadharma Ali, Jero Wacik, Suroso Atmomartoyo dan Sutan Bhatoegana. Maka sangat mudah diprediksi badai praperadilan akan segera menghampiri penegak hukum pasca putusan MK tersebut.

Putusan  Kontroversial

Selain merenovasi bangunan Pasal 77 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan memasukkan tiga poin sebelumnya menjadi bagian dari perkara praperadilan, putusan MK juga “menggila” tatkala menyatakan tiga pasal dalam KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “minimal dua alat bukti”.

Artinya, dalam menggunakan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP penyidik harus menemukan dua alat bukti kuat sebelum melabel seseorang menjadi tersangka. Tampaknya pesan ini terasa humanis, setidaknya memberikan perlindungan hak asasi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik dalam menetapkan tersangka.

Serta ada keinginan dari hakim konstitusi untuk meningkatkan profesionalisme penyidik Polri dan Kejaksaan seperti halnya di KPK yang telah lama menerapkan prinsip serupa. Pada suatu tingkatan, putusan MK dirasa tak menjadi persoalan, terkhusus memasukkan semua upaya paksa penyidik menjadi tindakan yang dapat di perkarakan apabila tidak sesuai prosedur, baik itu penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

Namun sekelumit pertanyaan muncul ketika penetapan tersangka dipersamakan dengan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik, logika yang sulit dicerna. Karena mentersangkakan seseorang hakikatnya tidak serta merta membatasi hak seseorang seperti halnya upaya paksa. Maka pada level ini putasan MK dirasa keliru dalam menafsirkan Pasal 77 huruf a KUHAP dengan menempatkan penetapan tersangka kedalam ranahnya praperadilan.

Jika dilacak keseluruhan pasal-pasal dalam KUHAP, maka akan ditemukan jawaban pasti kenapa penetapan tersangka menjadi tak layak di praperadilkan. KUHAP menggariskan penetapan tersangka merupakan buah dari rentetan panjang penyidikan (Baca: upaya paksa) yang kesemua prosesnya dapat di gugat ke pengadilan. Sehingga penetapan tersangka yang merupakan muara penyidikan tidak masuk akal digugat kembali melalui praperadilan.

Dampak Serius

Akan sangat mudah ditebak, usai putusan MK ini persoalan serius akan segera mencuat ke permukaan. Dari sekian banyak dugaan, paling tidak terdapat beberapa masalah yang sangat mungkin terjadi. Pertama, semua penegak hukum akan direpotkan menahan gempuran praperadilan yang akan dilancarakan para tersangka. Bak hitung-hitungan dalam perjudian, menang atau kalah tak jadi hambatan, yang penting lakukan.

Agaknya upaya ini akan masif dilakukan sebagai perlawanan awal terhadap penegak hukum. Kedua, pengajuan praperadilan terhadap penetapan tersangka akan mengingkari asas hukum cepat, sederhana, dan biaya ringan. Karena adanya kemungkinan tersangka melakukan beberapa kali praperadilan terhadap tindakan tertentu.

Lebih jauh lagi kondisi ini akan berpengaruh terhadap materi perlawanan yang akan dibawa penegak hukum ke persidangan, dikarenakan banyak agenda lain yang perlu mendapat perhatian serius. Kondisi ini tentunya akan menguntungkan para tersangka. Ketiga, konsep praperadilan yang menempatkan hakim tunggal dalam persidangan akan sangat mudah di intervensi para pihak berpekara.

Bagaimana tidak, putusan hakim nantinya akan menjadi acuan apakah penetapan tersangka dan penyidikan dapat dilanjutkan atau tidak. Sehingga momen maha penting ini akan semaksimal mungkin dimanfaatkan para tersangka, termasuk melakukan tindak pidana suap. Apa pun itu, putusan MK tetap harus dihargai sebagai bagian hukum positif yang diakui keabsahannya.

Terlebih putusan MK dapat dikatakan lebih kuat ketimbang undang-undang karena telah melalui uji konstitusional. Maka langkah cerdas harus segera diambil guna menjawab pertanyaan yang hadir sebelumnya. Sebagai hak pasca putusan MK, praperadilan bagi tersangka harus dihargai. Namun, demi mengantisipasi lonjakan praperadilan, penyidik harus berpandai-pandai siasat.

Agar tak mudah digugat ke pengadilan, dalam menetapkan tersangka, penyidik harus mengumumkan ke publik minimal dua alat bukti apa yang dijadikan alasan seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Langkah ini tampaknya relevan dengan putusan MK, serta bagian dari langkah antisipasi agar tersangka tak mempersoalkan penetapannya ke pengadilan.

Jika dibaca lebih dalam putusan MK di atas, praperadilan bagi penetapan tersangka hanya di peruntukkan untuk pemeriksaan proses penetapan seorang menjadi tersangka. Oleh karenanya, hakim tidak berwenang memeriksa materi perkara seperti yang pernah dilakukan hakim Sarpin yang sempat mencuri fokus publik.

Sehingga, jika ditemukan adanya kesalahan prosedur penyidik, tidak serta merta penyidikan terhadap tersangka dihentikan. Penyidik dapat mencari alat bukti baru atau melakukan penyidikan kembali terhadap kasus yang sama. Paradigma inilah yang harus diluruskan bahwa praperadilan bukan tempat menghentikan tindakan penyidikan, melainkan memberikan perlindungan bagi seseorang dari diktaktornya penyidik.

 

 

Add a comment

Hatta

Yamin

SEKRETARIAT PUSAKO FH-UNAND

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Lt II Gedung Bersama Dekanat Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Telp/Fax : 0751-775692 E-mail : sekretariat@pusako.or.id Twitter : @PUSaKO_UNAND