Friday, May 03, 2024

Belajar dari KPK Hongkong

Belajar dari KPK Hongkong

Oleh: Ari Wirya Dinata

Padang Ekspres, 14 Februari 2015

 

Carut-marut antara dua lembaga negara penegak hukum Indonesia sepertinya belum menemukan titik kulminasi. Serangan bertubi-tubi yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atas Komisioner KPK  layaknya bombardir yang mencoba merontokkan kinerja dan upaya pemberantasan korupsi.

Peperangan antikorupsi disinyalir berawal dari penetapan status Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, tersangka kasus rekening gendut.  Lalu secara membabi buta kepolisian menyerang lembaga antirasuah ini dengan menjadikan para komisioner KPK sebagai tersangka dalam berbagai kasus. 

Upaya memperlemah, mempreteli dan membumi hanguskan usaha pemberantasan korupsi tidak hanya terjadi satu kali ini saja. Tapi telah berulang kali layaknya riak gelombang di lautan yang tiada habisnya. Kadang berupa riak yang kecil kadang berupa gelombang yang besar atau mungkin tsunami. Namun semangat dalam berjihad membersihkan negara ini dari virus korupsi tidak boleh menciut.

Serangan balik koruptor (corruptor fight back) menjadi hal yang lumrah dialami komisi pemberantasan korupsi di banyak negara, sebab sudah menjadi postulat alam ketika ada yang ingin berbuat kemaslahatan mulia bagi umat, maka akan selalu ada pihak yang berniat merobohkannya. 

Apalagi terhadap KPK Indonesia yang hari ini menjadi ujung tombak perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga yang didesain tahun 2003 ini memang seyogianya dirancang sebagai lembaga dengan fungsi yang kompleks, tidak hanya memiliki kewenangan pencegahan melainkan juga penindakan, monitoring, bahkan supervisi atau dikenal dengan istilah multipurpose body.

Runtuhnya Lembaga Antirasuah Indonesia 

Sebenarnya jika ditinjau dari sejarah pemberantasan korupsi  di Asia, Indonesia merupakan negara pertama yang memiliki perangkat perundang-undangan antikorupsi. Pada tahun 1957, ketika banyak bangsa di Asia belum merdeka. Di Indonesia terbit Peraturan Penguasa Militer  Nomor PRT\PM\06\1957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal demikian patutlah diapresiasi sebagai wujud keseriusan dalam memberantas korupsi. Tapi faktanya, keseriusan tersebut hanya sementara dan layu sebelum berkembang. Institusi-institusi yang seyogianya dibentuk untuk mempercepat pemberantasan korupsi justru hancur lembur tanpa hasil yang berarti. 

Hingga akhirnya saat ini kita memiliki komisi pemberantasan korupsi yang dibekali tameng dan pedang untuk memburu para koruptor. Kendati begitu ternyata KPK juga tak lepas dari serangan  orang-orang yang membenci lembaga ini.

Pasalnya turbulensi atas KPK sebagai garda pemberantasan korupsi terus terjadi hingga  saat ini. Adapun parameter yang mempertunjukkan bahwa rongrongan dan ancaman atas perjuangan ini masih besar ialah kriminalisasi pimpinan KPK yang berakibat lumpuhnya kinerja KPK.

Belajar dari Hongkong

KPK Hongkong, berdiri 1974, dikenal nama Independent Commission  Against  Corruption (ICAC) tentunya telah jamak diketahui orang di seluruh dunia.

Bahkan keberhasilan lembaga ini menjadikannya kiblat dan acuan bagi banyak negara yang sedang berjihad memberantas korupsi di negaranya. Kisah sukses lembaga ini memberangus korupsi menginspirasi seluruh negara tanpa terkecuali Indonesia.

Sebab pada awalnya, KPK Hongkong ini hadir berdasarkan suatu fakta, di mana negara ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif namun tidak diikuti dengan pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih.

Persis seperti yang dialami Indonesia saat ini, bahkan tak jarang dalam perjuangannya menyelesaikan kasus-kasus korupsi di Hongkong, justru berbuah resistensi dan serangan balik dari pihak-pihak yang ingin menggagalkan misi pemberantasan korupsi.

Ironisnya sejak tahun 1962-1972, negara ini kehilangan 10 miliar Hongkong. Budaya laten korupsi ini telah melekat kepada seluruh lini aparatur pemerintahnya yang dikenal dengan istilah “mo chin mo sui” (tidak ada uang tidak ada air).

Pelayanan masyarakat baru diberikan jika diiming-imingkan imbalan sebelum melaksanakan tugas yang sejatinya adalah kewajiban aparatur negara. Namun pemerintah Hongkong terbukti memiliki kehendak yang kuat untuk merubah negaranya dengan keseriusan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.

Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK Hongkong tanpa pandang bulu. Setahun setelah terbentuk pada awal tahun 1975, KPK Hongkong dapat menangkap Chief  Superintendant, Polisi Peter Godber, The BigFish, yang berhasil melarikan diri ke London.

Godber dinyatakan bersalah dan harus menjalani hukuman penjara selama 4 tahun. Sejak itu, pada Februari 1974 hingga Oktober 1977, KPK Hongkong telah menangkap 260 polisi yang terbukti terlibat praktik korupsi.

Sekarang berdasarkan indeks persepsi korupsi tahun 2014 menempatkan Hongkong sebagai negara dengan peringkat 17 dari 175 negara dengan skor 74/100.

Kesimpulan

Semangat pemberantasan korupsi harus senantiasa membara di dalam sanubari jiwa-jiwa yang merindukan keadilan. Segala perbuatan yang ingin menghancurkan dan menggagalkan agenda reformasi dalam upaya pembentukan negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah musuh bersama. Itulah sejatinya hakiki, makna kata “perang” melawan korupsi.

Harus ada gerak masif dan optimistis untuk melawan pelemahan atas gerakan dan lembaga pemberantasan korupsi. Sebab pada akhirnya hanya ada dua pilihan dari akhir perang melawan korupsi yakni menjadi bangsa yang merdeka dan bebas korupsi atau justru menjadi bangsa yang mati akibat kesejahteraan yang dijarah para tikus rakus. (*)

 

Add a comment

Menagih Janji Jokowi

Menagih Janji Jokowi

Oleh: Saldi Isra

Kompas, 10 Februari 2015.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menagih semua janji Presiden Joko Widodo sebagaimana tertuang dalam sembilan agenda prioritas (Nawa Cita) ketika kampanye.

Di tengah buramnya masa depan pemberantasan korupsi, tulisan ini juga tidak berniat untuk menagih janji guna mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan. Yang ditagih: pemenuhan janji Jokowi dalam menentukan sikap soal Komjen Budi Gunawan. Sebagaimana diketahui, di tengah badai kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara RI, hampir semua unsur masyarakat yang peduli terhadap agenda pemberantasan korupsi mengharapkan Presiden mengambil tindakan darurat. Upaya darurat yang dimaksud: menyatakan agar kepolisian menghentikan segala macam tindakan yang dapat dinilai sebagai bentuk kriminalisasi atas pimpinan lembaga anti rasuah ini.

Dalam batas penalaran yang wajar, permintaan darurat itu diperlukan karena ketidaktegasan sikap Presiden Jokowi dalam menghentikan upaya penggerogotan KPK. Misalnya, dalam beberapa kesempatan Jokowi mengajak KPK dan polisi memastikan proses hukum harus obyektif dan sesuai undang-undang (UU). Namun, nyatanya, kepolisian tetap meneruskan segala laporan masyarakat terhadap pimpinan KPK. Yang dirasakan, ajakan Jokowi menjadi kehilangan makna dan KPK benar-benar mengalami disfungsi.

Karena itu, sekiranya memiliki komitmen atas agenda pemberantasan korupsi dan KPK, Jokowi tidak perlu bersikap ambivalen dalam memberi pernyataan. Melihat situasi yang terjadi, proses hukum harus berjalan obyektif dan sesuai dengan UU mestinya dialamatkan langsung kepada polisi. Bahkan, berkaca dari skandal cicak vs buaya jilid I, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara tegas menyatakan bahwa kasus Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah tidak perlu dilanjutkan sampai ke pengadilan.

Jangankan memilih langkah tegas, Tim Sembilan yang diharapkan menjadi tim independen untuk menelisik proses hukum terhadap Wakil KPK Bambang Widjojanto tidak pernah hadir sebagai tim dalam pengertian yang sesungguhnya. Selain tak memiliki landasan hukum yang kuat, Tim Sembilan juga tidak memiliki tugas eksplisit yang dapat bermuara pada penyelesaian sengkarut kriminalisasi atas KPK. Di tengah situasi yang tidak menentu tersebut, Jokowi membiarkan penyelesaian berlarut-larut.

Episentrum masalah

Melacak situasi sejak perubahan status hukum Budi Gunawan menjadi tersangka, tak bisa disangkal, silang sengkarut di sekitar kriminalisasi terhadap pimpinan KPK akan bisa diselesaikan jika Jokowi menarik kembali pengusulan bekas ajudan Megawati ini. Bahkan, sekalipun telah mendapatkan persetujuan dari DPR, dengan status hukum sebagai tersangka, Jokowi memiliki alasan moralitas hukum yang kuat tidak melantik yang bersangkutan menjadi Kapolri.

Bahkan, secara hukum, pejabat yang jadi tersangka diberhentikan sementara dari jabatannya. Paling tidak, berkaca dari pemerintahan sebelumnya, SBY memberhentikan beberapa menteri karena ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, UU Nomor 30 Tahun 2003 menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang memerintahkan pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

 

Tidak hanya itu, di lingkungan internal kepolisian, PP Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian Negara RI mengatur ihwal anggota Polri yang digadaikan tersangka. Terkait hal ini, Pasal 10 Ayat (1) PP No 3/2003 menyatakan bahwa anggota Polri yang dijadikan tersangka atau terdakwa dapat diberhentikan sementara dari jabatan kepolisian sejak dilakukan proses penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Ditambahkan lagi, pemberhentian guna kepentingan penyidikan dapat dilakukan secara langsung.

Pertanyaan elementer yang dapat dikemukakan: mengapa aturan hukum yang memungkinkan pemberhentian sementara tersebut tidak diberlakukan kepada Budi Gunawan? Pertanyaan ini menjadi maha-penting karena jika diberlakukan, segala kesempatan yang mungkin memanfaatkan institusi kepolisian untuk diperhadapkan dengan institusi KPK dapat diminimalkan. Bagaimanapun, dengan mengambil langkah pemberhentian sementara, Budi Gunawan jelas-jelas tidak memenuhi persyaratan lagi sebagai calon Kapolri. Ketika seorang calon tak memenuhi syarat, tidak tersedia lagi alasan hukum untuk tetap melantiknya.

Banyak kalangan percaya dan sudah menjadi bahasan umum, perlakuan "tidak senonoh" yang menimpa Bambang Widjojanto tidak mungkin melepaskan sama sekali dengan status tersangka Budi Gunawan. Dapat dipastikan, sekiranya status tersangka tidak ditetapkan KPK, tidak akan terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Dalam cara pandang ini, episentrum kekisruhan hubungan KPK dan kepolisian berada pada posisi penetapan status hukum Budi Gunawan. Dan, kekacauan yang mungkin terjadi dapat dikelola dan diminimalkan sekiranya status tersangka diikuti dengan tindakan pemberhentian sementara.

Menagih Jokowi

Dalam hitungan waktu, kekisruhan antara KPK dan polisi sebagai akibat status hukum Budi Gunawan belum sampai 20 hari. Namun, secara dampak, kejadian ini jauh lebih mengguncang dan berdampak maha-dahsyat terhadap KPK dan pemberantasan korupsi. Kejadian ini jauh lebih dahsyat mengguncang KPK daripada skandal cicak vs buaya jilid I atau kisruh akibat pengungkapan kasus suap simulator beberapa waktu lalu.

 

Selain persoalan internal, suasana tak menentu yang melanda KPK juga berdampak pada lumpuhnya agenda pemberantasan korupsi. Sebagai institusi yang diberi tugas khusus memberantas korupsi, sejak serangan mematikan berupa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, mereka yang sedang dalam proses seenaknya mengabaikan panggilan KPK. Bahkan, Budi Gunawan dan hampir semua saksi yang diperlukan keterangannya dalam kasus ini dengan alasan yang sulit diterima tidak memenuhi panggilan KPK.

Melihat bentangan fakta tersebut, Presiden Jokowi memiliki pilihan yang amat terbatas dalam menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi. Pertama, sekembali dari luar negeri, Jokowi harus memenuhi janjinya dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya untuk menyelesaikan persoalan di sekitar calon Kapolri. Untuk mengakhiri masalah ini, Jokowi tidak perlu lagi menggunakan argumentasi akan menunggu proses praperadilan selesai untuk menentukan nasib Budi Gunawan. Apalagi, secara hukum, status tersangka tidak masuk alasan yang dapat dipersoalkan ke praperadilan.

Oleh karena itu, yang ditunggu masyarakat sekembali dari kunjungan ke luar negeri, Jokowi segera mengumumkan tak akan melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Tak berhenti di situ, Presiden Jokowi segera mengumumkan calon baru untuk disampaikan ke DPR guna mendapat persetujuan. Secara politis, mayoritas kekuatan politik DPR akan menghormati segala keputusan yang diambil Presiden Jokowi. Paling tidak, di tengah ketegangan antara KPK dan polisi, dorongan bagi Jokowi mengajukan calon Kapolri baru cukup banyak bermunculan. Namun, satu hal yang perlu diingat, ketika hendak mengajukan nama pengganti calon yang akan diajukan, semestinya merupakan figur yang dapat memenuhi janji Jokowi seperti tertuang dalam Nawa Cita. Selain mengajukan calon Kapolri yang bersih, kompeten, dan anti korupsi, Jokowi harus mampu menyodorkan nama calon yang tak memiliki sentimen negatif terhadap KPK. Seandainya Jokowi mengajukan calon yang ramah terhadap KPK, akan lebih mudah merealisasikan janji lain yang tertuang dalam Nawa Cita, yaitu memastikan sinergi di antara KPK dan kepolisian.

Kini, setelah kembali dari kunjungan panjang ke beberapa negara jiran, Jokowi harus memenuhi janji untuk menuntaskan kekisruhan di sekitar calon Kapolri. Pilihan paling komprehensif, segera keluar dari episentrum kisruh antara KPK dan kepolisian. Bagi masyarakat, pemenuhan janji ini sekaligus titik penting untuk menilai komitmen Jokowi dalam memberantas korupsi. Tuan Presiden, kami percaya Anda memiliki nyali untuk ini.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Add a comment

AWAN GELAP SERATUS HARI JOKOWI-JK

AWAN GELAP SERATUS HARI JOKOWI-JK

Oleh : Saldi Isra

MAJALAH DETIK, EDISI 166  | 2 - 8 FEBRUARI 2015

BERBEDA dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan SBY-Boediono, duet Joko Widodo-Jusuf Kalla memang tak memberikan target apa pun soal seratus hari pemerintahannya. Padahal, bagi sebagian masyarakat, momentum seratus hari pertama bisa digunakan untuk melihat seberapa besar pemerintahan baru bergerak sesuai dengan kehendak pemilih yang telah memberi mandat melalui pemilu. Selain itu, hitungan seratus hari sekaligus menilai komitmen awal dalam memenuhi pohon janji selama masa kampanye.

Dibanding SBY-Boediono, kondisi yang dihadapi Jokowi-JK dalam seratus hari pertama memang jauh lebih terjal dan berliku. Bak pengantin baru, keduanya nyaris tak menikmati bulan madu. Sejak dari awal mereka dihadapkan pada impitan persoalan yang tak sederhana, seperti rongrongan dari lawan-lawan politiknya yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.

Dalam perjalanan, tekanan juga datang dari sebagian partai politik yang mendukung pencalonan mereka.

Tentu saja kondisi semacam itu bukan menjadi alasan untuk tidak mulai memenuhi pohon janji selama masa kampanye. Bahkan, untuk hadir sebagai pemerintah yang kuat, kemampuan keluar dari berbagai tekanan menjadi batu ujian dalam menghela roda pemerintahan hingga lima tahun.

Penegakan Hukum

Tak terbantahkan, penegakan hukum merupakan salah satu agenda besar yang mesti dikelola secara tepat oleh siapa saja yang memerintah negeri ini. Pasangan Jokowi-JK menyadari hal ini, sehingga berikrar untuk memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,bermartabat, dan tepercaya seperti tercantum dalam Nawa Cita.

Ihwal ini, dalam Nawa Cita dinyatakan akan mendukung penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan dan pendanaan. Bentuk penegasan dukungan agenda pemberantasan korupsi, Jokowi-JK akan memastikan sinergi di antara kepolisian, Kejaksaan Agung, PPATK, dan KPK. Selain itu, diperkuat fungsi koordinasi dan supervisi dalam penegakan hukum kasus korupsi.

Tapi secara jujur harus dikemukakan, dalam seratus hari pertama ini, belum terlihat adanya upaya konkret pemenuhan janji dalam Nawa Cita tersebut. Alat ukur sederhana yang dipakai adalah bagaimana Presiden memilih dan mengisi tiga jabatan penting di lingkungan pemerintahan, yaitu pengisian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI.

Ketika Presiden Jokowi memilih Menteri Hukum dan HAM dari partai politik, publik masih dapat mengerti dan memahami pilihan itu. Penilaian umum yang muncul, karena Presiden memerlukan figur yang lebih mudah berkomunikasi dengan semua kekuatan politik di DPR, terutama untuk memudahkan pelaksanaan agenda legislasi. Tapi, ketika Presiden Jokowi juga memilih H M. Prasetyo sebagai Jaksa Agung, meski pernah lama berdinas sebagai jaksa, publik menilainya lebih sebagai representasi Partai NasDem. Beruntung perdebatan cepat mereda karena sosok Prasetyo tak begitu kontroversial.

Awan Gelap

Mendekati seratus hari pemerintahan Jokowi-JK, wilayah penegakan hukum dilingkupi gumpalan awan gelap. Kondisi ini dimulai dengan beredarnya kabar bahwa mantan ajudan Megawati Soekarnoputri, Komjen Budi Gunawan, akan diusulkan menjadi calon Kapolri menjadi nyata. Komitmen Jokowi dalam penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi, pun digugat banyak pihak. Sebab, nama yang bersangkutan pernah masuk daftar sejumlah perwira tinggi kepolisian yang terindikasi memiliki rekening tambun alias rekening tak wajar.

Ketika KPK kemudian menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka hanya selang beberapa hari setelah diajukan Presiden ke DPR, sejumlah kalangan berpandangan nama itu akan langsung ditarik kembali dan diganti nama lain. Namun, entah kekuatan apa yang berada di balik proses ini, Jokowi tidak melakukan hal itu.

Awan gelap menuju seratus hari menjadi kian pekat ketika penetapan status tersangka bagi Budi Gunawan merambat menjadi serangan hebat ke KPK. Tiba-tiba Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka dan dilanjutkan dengan langkah penangkapan.

Dalam batas penalaran yang wajar, sulit menyatakan bahwa tindakan “tidaksenonoh” yang dialami  Bambang Widjojanto tak terkait sama sekali dengan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka.

Bahkan, tidak akan selesai di Bambang Widjojanto, upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang lain sangat berpeluang terus berlangsung.

Melihat perkembangan yang terjadi, sulit dibantah, seratus hari pemerintahanJokowi-JK benar-benar diselimuti awan gelap nan pekat. Saat ini publik tak hanya resah melihat upaya sistematis untuk melemahkan KPK, tapi juga sedang menunggu perkembangan yang terjadi di lembaga antirasuah ini.

Yang paling ditakutkan, kisruh ini akan berujung pada kematian KPK. Karena itu,tidak berlebihan jika banyak pihak berharap Presiden Jokowi mengajukan namalain ke DPR sebagai calon Kapolri.

Jika ini dilakukan, Jokowi tak hanya menyelamatkan agenda penegakan hukum dalam Nawa Cita, tetapi juga dapat menyelamatkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.

Lebih jauh dari itu, jika gagasan tersebut dilaksanakan, Jokowi-Kalla mampu sedikit memberi hembusan angin untuk menggusur awan gelap tersebut. Artinya, ini dapat menjadi sedikit menyelamatkan muka Jokowi-JK dalam peringatan seratus hari pemerintahan mereka. Semoga!

(Saldi Isra,Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

 

 

Add a comment

Hatta

Yamin

SEKRETARIAT PUSAKO FH-UNAND

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Lt II Gedung Bersama Dekanat Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Telp/Fax : 0751-775692 E-mail : sekretariat@pusako.or.id Twitter : @PUSaKO_UNAND