Belajar dari KPK Hongkong
- Details
- Written by Administrator
- Category: Opini
- Hits: 2665
Belajar dari KPK Hongkong
Oleh: Ari Wirya Dinata
Padang Ekspres, 14 Februari 2015
Carut-marut antara dua lembaga negara penegak hukum Indonesia sepertinya belum menemukan titik kulminasi. Serangan bertubi-tubi yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atas Komisioner KPK layaknya bombardir yang mencoba merontokkan kinerja dan upaya pemberantasan korupsi.
Peperangan antikorupsi disinyalir berawal dari penetapan status Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, tersangka kasus rekening gendut. Lalu secara membabi buta kepolisian menyerang lembaga antirasuah ini dengan menjadikan para komisioner KPK sebagai tersangka dalam berbagai kasus.
Upaya memperlemah, mempreteli dan membumi hanguskan usaha pemberantasan korupsi tidak hanya terjadi satu kali ini saja. Tapi telah berulang kali layaknya riak gelombang di lautan yang tiada habisnya. Kadang berupa riak yang kecil kadang berupa gelombang yang besar atau mungkin tsunami. Namun semangat dalam berjihad membersihkan negara ini dari virus korupsi tidak boleh menciut.
Serangan balik koruptor (corruptor fight back) menjadi hal yang lumrah dialami komisi pemberantasan korupsi di banyak negara, sebab sudah menjadi postulat alam ketika ada yang ingin berbuat kemaslahatan mulia bagi umat, maka akan selalu ada pihak yang berniat merobohkannya.
Apalagi terhadap KPK Indonesia yang hari ini menjadi ujung tombak perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga yang didesain tahun 2003 ini memang seyogianya dirancang sebagai lembaga dengan fungsi yang kompleks, tidak hanya memiliki kewenangan pencegahan melainkan juga penindakan, monitoring, bahkan supervisi atau dikenal dengan istilah multipurpose body.
Runtuhnya Lembaga Antirasuah Indonesia
Sebenarnya jika ditinjau dari sejarah pemberantasan korupsi di Asia, Indonesia merupakan negara pertama yang memiliki perangkat perundang-undangan antikorupsi. Pada tahun 1957, ketika banyak bangsa di Asia belum merdeka. Di Indonesia terbit Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT\PM\06\1957 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal demikian patutlah diapresiasi sebagai wujud keseriusan dalam memberantas korupsi. Tapi faktanya, keseriusan tersebut hanya sementara dan layu sebelum berkembang. Institusi-institusi yang seyogianya dibentuk untuk mempercepat pemberantasan korupsi justru hancur lembur tanpa hasil yang berarti.
Hingga akhirnya saat ini kita memiliki komisi pemberantasan korupsi yang dibekali tameng dan pedang untuk memburu para koruptor. Kendati begitu ternyata KPK juga tak lepas dari serangan orang-orang yang membenci lembaga ini.
Pasalnya turbulensi atas KPK sebagai garda pemberantasan korupsi terus terjadi hingga saat ini. Adapun parameter yang mempertunjukkan bahwa rongrongan dan ancaman atas perjuangan ini masih besar ialah kriminalisasi pimpinan KPK yang berakibat lumpuhnya kinerja KPK.
Belajar dari Hongkong
KPK Hongkong, berdiri 1974, dikenal nama Independent Commission Against Corruption (ICAC) tentunya telah jamak diketahui orang di seluruh dunia.
Bahkan keberhasilan lembaga ini menjadikannya kiblat dan acuan bagi banyak negara yang sedang berjihad memberantas korupsi di negaranya. Kisah sukses lembaga ini memberangus korupsi menginspirasi seluruh negara tanpa terkecuali Indonesia.
Sebab pada awalnya, KPK Hongkong ini hadir berdasarkan suatu fakta, di mana negara ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif namun tidak diikuti dengan pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih.
Persis seperti yang dialami Indonesia saat ini, bahkan tak jarang dalam perjuangannya menyelesaikan kasus-kasus korupsi di Hongkong, justru berbuah resistensi dan serangan balik dari pihak-pihak yang ingin menggagalkan misi pemberantasan korupsi.
Ironisnya sejak tahun 1962-1972, negara ini kehilangan 10 miliar Hongkong. Budaya laten korupsi ini telah melekat kepada seluruh lini aparatur pemerintahnya yang dikenal dengan istilah “mo chin mo sui” (tidak ada uang tidak ada air).
Pelayanan masyarakat baru diberikan jika diiming-imingkan imbalan sebelum melaksanakan tugas yang sejatinya adalah kewajiban aparatur negara. Namun pemerintah Hongkong terbukti memiliki kehendak yang kuat untuk merubah negaranya dengan keseriusan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK Hongkong tanpa pandang bulu. Setahun setelah terbentuk pada awal tahun 1975, KPK Hongkong dapat menangkap Chief Superintendant, Polisi Peter Godber, The BigFish, yang berhasil melarikan diri ke London.
Godber dinyatakan bersalah dan harus menjalani hukuman penjara selama 4 tahun. Sejak itu, pada Februari 1974 hingga Oktober 1977, KPK Hongkong telah menangkap 260 polisi yang terbukti terlibat praktik korupsi.
Sekarang berdasarkan indeks persepsi korupsi tahun 2014 menempatkan Hongkong sebagai negara dengan peringkat 17 dari 175 negara dengan skor 74/100.
Kesimpulan
Semangat pemberantasan korupsi harus senantiasa membara di dalam sanubari jiwa-jiwa yang merindukan keadilan. Segala perbuatan yang ingin menghancurkan dan menggagalkan agenda reformasi dalam upaya pembentukan negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah musuh bersama. Itulah sejatinya hakiki, makna kata “perang” melawan korupsi.
Harus ada gerak masif dan optimistis untuk melawan pelemahan atas gerakan dan lembaga pemberantasan korupsi. Sebab pada akhirnya hanya ada dua pilihan dari akhir perang melawan korupsi yakni menjadi bangsa yang merdeka dan bebas korupsi atau justru menjadi bangsa yang mati akibat kesejahteraan yang dijarah para tikus rakus. (*)
Add a comment