Thursday, May 02, 2024

Selamat(kan) Jalan KPK

Selamat(kan) Jalan KPK

Oleh : Saldi Isra

KORAN SINDO, 29 Januari 2015

Terakhir kalinya saya menulis dengan judul serupa di harian ini pada 8 Oktober 2012. Secara sengaja, tulisan tersebut dipicu oleh upaya penangkapan salah seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bernama Novel Baswedan.

Tidak bisa dipastikan, apakah karena hendak melihat perlawanan terbuka kepolisian pada KPK atau memang bermaksud hendak melindungi lembaga antirasuah ini, masyarakat sipil berduyun- duyun hadir di Gedung KPK sejak Jumat malam sampai Sabtu menjelang subuh (5-6/10-2012). Ketika itu, dengan modal “surat perintahan penangkapan” dan “surat perintah penggeledahan”, sejumlah polisi hadir di Gedung KPK dengan tujuan menangkap Novel Baswedan.

Alasan mereka, penyidik KPK yang menjadi figur penting di balik peristiwa penggeledahan Kantor Korps Lalu Lintas dinyatakan terkait tindak kriminal semasa bertugas di Polda Bengkulu. Sesuatu yang sulit dimengerti karena kejadian yang dipakai sebagai alasan berlangsung sekitar delapan tahun sebelum upaya penangkapan Novel Baswedan (KORAN SINDO, 8/10/2012).

Kini, sejak perlakuan “tidak senonoh” kepolisian kepada Wakil Ketua KPK (23/1), judul ini relevan ditulis kembali. Paling tidak, melacak perkembangan dalam beberapa hari terakhir, pertanyaan ihwal masa depan KPK hampir pasti menghinggapi mayoritas kalangan yang selama ini berharap banyak dari sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi.

Pertanyaan serupa makian relevan karena KPK dapat dukungan konkret hanya dari masyarakat sipil. Banyak pihak yakin yang terjadi setelah penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka tak hanya upaya pelemahan, tetapi mungkin saja berujung pada penghancuran KPK.

Lebih Sistemik

Jikalau ditelisik perkembangan KPK, sulit dibantah lembaga ini nyaris tidak pernah sepi dari upaya pelemahan. Salah satu upaya tersebut adalah konsisten membangun opini, KPK adalah badan ad-hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Dalam “Selamat(kan)Jalan KPK (2)“ dikemukakan, opini begitu membuat KPK sulit bekerja dengan nyaman menghadang laju praktik korupsi yang kian masif.

Ibarat petinju, selama bertanding, KPK lebih fokus bertahan di pojok ring sembari memasang double cover menghadapi serangan pihak-pihak yang dirugikan (KORAN SINDO, 28/11/2011). Lebih lanjut dikemukakan, sejak terbentuk, serangan kepada KPK beruntun dan seperti tidak ada matinya .

Laksana digerakkan dan dirancang oleh kekuatan yang tidak bisa terpantau dengan mata telanjang, serangan mematikan terhadap KPK benarbenar bergelombang dan datang dari semua penjuru mata angin. Serangan tersebut tak hanya datang dari berbagai pihak di Gedung DPR, tetapi juga dilakukan oleh lembaga negara yang harusnya seayun-selangkah dengan KPK dalam melawan korupsi.

Bahkan dilihat dari pola yang lebih sederhana, upaya pelemahan KPK dapat dibaca dengan munculnya ancaman berkelanjutan dengan cara keinginan menarik kembali para penyidik KPK. Kendati demikian, dalam tenggat waktu lebih dari 11 tahun kehadirannya, KPK mampu bertahan di tengah gelombang pelemahan tersebut. Salah satu buktinya, ketika dilakukan serangan mendadak kepada Novel Baswedan, KPK tidak mengalami guncangan dan nyaris tidak terpengaruh.

Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, dukungan publik makin mengental pada KPK. Boleh jadi, dukungan sepanjang upaya kriminalisasi kepada Novel Baswedan merupakan salah satu ekspresi paling nyata kemarahan publik kepada pihak-pihak yang hendak melemahkan KPK. Meski begitu, peristiwa pascapenetapan Budi Gunawan sebagai tersangka dapat dibaca sebagai ancaman yang paling serius.

Kalau selama ini upaya pelemahan KPK hanya di pinggiran, penangkapan Bambang Widjojanto (BW) menjadi bentangan empirik bahwa serangan dilakukan langsung ke jantung pertahanan KPK. Pada batas-batas tertentu, kejadian yang menimpa BW mirip dengan yang dialami Bibit S Riyanto dan Chandra Hamzah. Bedanya, ketika itu dua pimpinan KPK yang dijadikan tersangka, tetapi sekarang hanya BW.

Sekalipun hanya seorang, perlakuan polisi sangat kasar karena mirip dengan menangkap seorang teroris. Ibarat serangan bergelombang, status tersangka yang diikuti penangkapan BW dapat dibaca sebagai langkah awal untuk terus melumpuhkan jantung pertahanan KPK. Buktinya, tidak perlu menunggu perubahan minggu, beberapa pimpinan KPK yang lain juga sedang menunggu waktu untuk di-BW-kan.

Modusnya sama, polisi menindaklanjuti laporan terhadap indikasi tindak pidana yang dilakukan masing-masing pimpinan KPK. Lihat saja, tiba-tiba muncul laporan terhadap Abraham Samad, Adnan Pandu Pradja, dan Zulkarnaen. Dengan gejala tersebut, status tersangka terhadap tiga pimpinan KPK yang lain hanya tinggal masalah waktu. Artinya, kali ini serangan kepada KPK jauh lebih sistematis dibandingkan dengan peristiwa sebelumnya.

Langkah Penyelamatan

Di tengah situasi kritis yang menimpa KPK saat ini, pilihan yang tersedia menjadi sangat terbatas yaitu menyelamatkan KPK atau membiarkan lembaga ini terkapar tak berdaya. Kalau pilihannya jatuh pada opsi kedua, kita harus bersiap mengucapkan innalillahi wa inna illaihi rojiun atau rest in peace.

Artinya, bilamana opsi kedua yang terjadi, negeri ini mengulangi kembali sejarah terkaparnya dan matinya lembagalembaga khusus yang dibentuk untuk memberantas korupsi. Akankah KPK akan masuk ke dalam alur hukum besi sejarah yang terus berulang (llhistoire se reacute pegravete) ? Agar opsi kedua tidak benarbenar terjadi, segala macam langkah darurat perlu dilakukan untuk menyelamatkan KPK.

Sebagai sebuah lembaga, di dalam situasi darurat seperti saat ini, keberlangsungan KPK sangat ditentukan oleh komitmen memberantas korupsi. Sekiranya negeri ini masih ingin diselamatkan dari jebakan korupsi, pimpinan tertinggi (baca; Presiden Joko Widodo) harus mampu mengendalikan keadaan.

Langkah nyata yang harus dilakukan adalah memerintahkan kepolisian menghentikan tindakan yang berpotensi melumpuhkan KPK. Sebagai sebuah institusi yang langsung berada di bawah presiden, Jokowi jelas memiliki otoritas untuk menghentikan kekisruhan antara KPK dan kepolisian.

Rasanya, bila memberi perintah langsung kepada pelaksana tugas dan wewenang kepala Polri, tidak mungkin polisi akan meneruskan kekhawatiran berlanjutnya kegaduhan dengan KPK. Bila perintah itu diberikan, ternyata masih ada upaya meneruskan kegaduhan, bisa jadi ada upaya insubordinasi di lingkungan internal kepolisian. Bagaimanapun, sikap tegas Presiden diperlukan untuk menenangkan situasi.

Selain itu, demi proses penyelesaian yang komprehensif, Presiden Jokowi segera memfasilitasi bekerja tim independen (Tim Sembilan). Berkaca dari pengalaman upaya penuntasan kasus Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah, peran tim independen sangat diperlukan. Bagaimanapun dalam situasi seperti ini, tekanan dari berbagai pihak termasuk tekanan politik menjadi sulit dihindari Presiden Jokowi.

Karena itu, banyak kalangan percaya, dengan bekerjanya Tim Sembilan, beban berat yang dipikul Presiden Jokowi bisa dibagi dan dikurangi. Secara lebih sederhana, dalam proses penyelesaian masalah ini, Tim Sembilan dapat menjadi semacan perisai untuk melindungi Presiden. Apalagi, mereka yang tergabung dalam Tim Sembilan merupakan tokoh yang memiliki reputasi dan kredibilitasnya tidak diragukan.

Di ujung proses, rekomendasi Tim Sembilan akan menjadi langkah penting dan strategis guna memilih langkah hukum (dan mungkin juga politik) demi menyelesaikan silangsengkarut KPK-kepolisian. Terlepas dari kemungkinan rekomendasi yang akan dihaasilkan, kehadiran Tim Sembilan akan menjadi langkah nyata dalam menyelamatkan KPK.

Tanpa langkah ini, bersiaplah mengucapkan selamat jalan kepada KPK. Pertanyaan elementer yang dapat dikemukakan: bisakah dibayangkan kita mengucapkan innalillahi wa inna illaihi rojiun atau rest in peace kepada KPK pada saat Jokowi menjadi presiden?

(Saldi Isra,Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

 

 

Add a comment

Pak Jokowi, Selamatkan KPK

Pak Jokowi, Selamatkan KPK
Oleh : Saldi Isra
Kompas, 24 Januari 2015

MESKIPUN Presiden Joko Widodo berupaya memilih jalan tengah dengan cara menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan, silang- sengkarut proses pengisian jabatan Kepala Kepolisian Negara RI masih jauh untuk dapat dikatakan selesai.

Melihat tanda-tanda yang ada, hari-hari ke depan potensial menghadirkan ketegangan lebih luas. Tak hanya di sekitar kepolisian dan KPK, situasi bisa meluas ke lembaga lain. Paling tidak, langkah Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengungkap isu sensitif ihwal langkah Abraham Samad di sekitar proses penentuan bakal calon wakil presiden mengonfirmasi wilayah sensitif tersebut. Terlepas dari benar-tidaknya soal ini, kisruh di sekitar pencalonan BG tengah memasuki wilayah politik yang jauh lebih sensitif.

Bahkan, lebih jauh dari itu, perkembangan mutakhir, langkah polisi menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto merupakan bentangan fakta betapa besarnya kepentingan di sekitar pengusulan BG. Dengan kejadian ini, hampir nyaris dipastikan segala kemungkinan akan dapat terjadi di ranah penegakan hukum. Satu hal yang pasti, KPK tengah berada dalam ancaman amat serius.

Sebetulnya, dalam batas penalaran yang wajar, sekiranya semua pihak memiliki kearifan untuk menghadirkan situasi yang lebih kondusif, ketegangan di sekitar proses pengisian jabatan Kapolri pengganti Sutarman tidak perlu terjadi. Ketidakarifan paling awal muncul dari sodoran nama BG ke DPR. Jikalau Jokowi sensitif dan mendengar suara-suara minor yang berada di sekitar bekas ajudan Megawati ini, kontroversial ini tidak perlu terjadi.

Ketidakarifan masih tidak muncul ketika status tersangka tidak menjadi alasan bagi Jokowi menarik kembali usulan yang telah diajukan kepada DPR. Padahal, sejak status hukum itu dirilis KPK, Presiden memiliki waktu lebih dari cukup untuk menarik kembali usulan BG. Dalam posisi begitu, alasan menentukan sikap setelah proses politik di DPR dapat dikatakan sebagai pilihan membiarkan kekeliruan berjalan memasuki wilayah kerumitan yang teramat sangat.

Begitu pula dengan DPR, lembaga ini dengan segala kemungkinan perhitungan politik yang mengitarinya tak mau keluar dari logika formal, tetap meneruskan proses uji kelayakan dan kepatutan BG. Sekiranya mau mengambil langkah lebih arif dengan sedikit keluar dari logika formalitas, dengan status tersangka jauh lebih masuk akal mengembalikan usulan kepada Presiden. Bagaimanapun, dengan status itu, DPR kehilangan alasan menilai Budi proper menjadi calon Kapolri.

Begitu Komisi III menerima usulan dan Paripurna DPR meneguhkannya, pilihan apa pun yang diambil Presiden pasti memiliki konsekuensi yang tak sederhana. Bagi sebagian pihak, pilihan menunda pelantikan BG lebih pada menempatkan moralitas sebuah kebijakan dengan maksud agar kepolisian sebagai institusi penegak hukum tidak dipimpin sosok yang menyandang status hukum tersangka.

Bahkan, di tengah badai kontroversial, situasi bisa menjadi jauh lebih kondusif bilamana BG bersedia memilih langkah arif mengundurkan diri sejak awal pencalonan. Tak hanya sebatas menurunkan potensi ketegangan, jikalau langkah itu dipilih, dapat dicegah kemungkinan terjadi gesekan antara KPK dan institusi kepolisian. Dengan mengundurkan diri, yang bersangkutan juga dapat berkonsentrasi menghadapi proses hukum di KPK.

Praperadilan

Secara hukum, langkah pembelaan diri BG tentu menjadi bagian dari proses hukum. Meskipun demikian, melakukan praperadilan yang seolah-olah menempatkan institusi kepolisian berada di balik semua ini dapat merusak hubungan antara institusi kepolisian dan KPK. Bahkan, sikap kepolisian memberikan bantuan hukum kepada BG amat mungkin memperhadapkan kedua institusi penegak hukum ini. Mestinya, jikalau hendak menjunjung tinggi penegakan hukum, BG harus dinon-aktifkan dari kepolisian.

Terlepas dari itu semua, perlawanan berupa pengajuan praperadilan tak perlu dilakukan. Secara hukum, bagi tersangka, praperadilan dapat dilakukan hanya untuk mempersoalkan sah-tidaknya penangkapan atau penahanan. Bagi yang berkepentingan untuk penegakan hukum dan keadilan, upaya ini dapat dilakukan guna menyoal sah-tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Sebagai orang yang telah begitu lama bekerja di ranah penegakan hukum, BG pasti paham betul proses praperadilan.

Melihat pengaturan yang amat jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), semestinya institusi kepolisian tak memberikan dukungan kepada BG mengajukan praperadilan. Selain berpotensi memperlama proses hukum, langkah ini dapat memicu ketegangan antara kepolisian dan KPK. Sekiranya ini terjadi, secara keseluruhan berpotensi merusak wajah penegakan hukum negeri. Andai pilihan mengajukan praperadilan tak bisa dicegah, biarkan BG melakukan secara personal tanpa perlu melibatkan institusi kepolisian. Celakanya, jangankan mendorong menjadi personal, hampir semua upaya yang dilakukan BG mendapat apresiasi dari anggota kabinet. Bukti apresiasi itu, misalnya, bisa dilacak dari sejumlah pernyataan Menteri Hukum dan HAM setelah Jokowi menunda pelantikan BG. Semestinya, dari mana pun anggota kabinet berasal, dukungan terhadap kebijakan presiden tidak boleh terbelah.

Penangkapan Bambang

Isu di sekitar penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto telah mulai berembus sejak beberapa waktu belakangan. Sebagai salah satu pihak yang memberikan perhatian terhadap sejumlah ketegangan yang pernah terjadi antara KPK dan kepolisian, segala macam dalil sangat mungkin digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap mereka yang bekerja di lembaga anti-rasuah ini. Paling tidak, kita bisa melacak kembali kasus yang pernah menimpa Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Hal serupa bisa juga bisa dilacak dari peristiwa yang menimpa penyidik KPK, Novel Baswedan.

Sebagai orang yang pernah menjadi advokat, dapat dipastikan polisi akan lebih mudah menemukan ruang untuk menjadikan Bambang sebagai tersangka. Pada kasus ini, peran Bambang dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Kota Waringin Barat merupakan isu yang telah berulang-ulang dikapitalisasi. Selama ini, ketika Bambang menunjukkan peran pentingnya dalam mengungkap kasus korupsi di KPK, perannya ketika menjadi advokat tersebut selalu dimunculkan ke permukaan.

Apabila benar Bambang berperan dalam pemalsuan keterangan ketika bersidang di MK, pilihan menangkap dengan cara yang ”tidak senonoh” begini hampir pasti memiliki motivasi lain di luar penegakan hukum. Karena ini merupakan rangkaian yang tak mungkin dipisahkan dengan penetapan tersangka BG, sulit mengatakan penangkapan Bambang tidak terkait sama sekali dengan penetapan tersebut.

Di tengah situasi yang jauh dari menguntungkan ini, yang ditunggu adalah sikap tegas Jokowi. Langkah awal yang harus dilakukan adalah menghentikan kemungkinan pihak-pihak tertentu menggunakan institusi kepolisian melakukan serangan balik atas penetapan BG sebagai tersangka. Selain itu, Jokowi harusnya memastikan kepolisian tak menahan Bambang secara sewenang-wenang. Jauh lebih penting dari itu semua, Jokowi harus memastikan bahwa tak akan terjadi lagi kriminalisasi terhadap berbagai pihak di KPK. Di tengah situasi genting yang melanda KPK, saat ini waktu tepat menagih janji Jokowi menyelamatkan pemberantasan korupsi. Caranya, dengan menyelamatkan KPK.

(Saldi Isra,Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

 

 

Add a comment

Penegak Hukum Merangkap Tersangka?

Penegak Hukum Merangkap Tersangka?

Oleh : Feri Amasari

Tempo 22 Januari 2015 

Tidak mungkin kucing dipercaya menjaga ikan. Sebagaimana tidak masuk akalnya jika pencuri diminta melindungi barang berharga.

Namun, dalam politik, semuanya "mungkin", terutama jika hasrat kepentingan menghendakinya demikian. Kemungkinan itu kuat tercium pada proses pencalonan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Meskipun berstatus tersangka kasus korupsi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui nama tunggal yang diajukan Presiden tersebut. Dapat dipastikan bahwa Indonesia akan menjadi negara pertama yang menjadikan tersangka pidana sebagai pemimpin tertinggi untuk melawan kejahatan.

Presiden (juga orang-orang di sekitar istana) dan DPR berpendapat tersangka bukanlah terpidana berdasarkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent). Sebagaimana dipahami kebanyakan ilmuwan hukum, asas praduga tidak bersalah merupakan sebuah landasan yang digunakan untuk melindungi siapa pun yang dianggap melakukan kejahatan sampai terbukti bersalah di pengadilan. Asas praduga tidak bersalah diterapkan sebagai "tameng" bagi tersangka untuk menghindari asumsi awal penegak hukum tanpa pembuktian.

Shima Baradaran menyebutkan bahwa penggunaan praduga tidak bersalah hanya berlaku pada ranah peradilan saja (Restoring Presumption of Innocent, Ohio State Law Journal, 2011, hlm. 3). Menurut Baradaran, penggunaan asas itu bertujuan menghindari hakim menggunakan asumsi tanpa bukti. Sehingga harus dipahami bahwa asas praduga tidak bersalah bukanlah legal maxim yang diterapkan sebelum proses peradilan berlangsung.

Terhadap pelaku yang diduga melakukan kejahatan, sebelum proses peradilan tetap "diberikan" kepadanya asas praduga bersalah (presumption of guilt). Itu sebabnya, penyebutan "tersangka" dilekatkan kepada seseorang yang diduga melakukan kejahatan. Bahkan lebih jauh, seorang tersangka dapat ditahan sebelum proses peradilan dimulai. Hal itu mengindikasikan penerapan asas praduga bersalah kepada seorang tersangka (baca Michael J. Saks dan D Michael Risinger, Baserates, The Presumption of Guilt, Admissibility Rulings, and Erroneous Conviction, Michigan State DCL Law Review, 2003, hlm. 1.061). Artinya, seorang tersangka (atau terdakwa) adalah penjahat "sementara" yang pada proses peradilan diberikan perlindungan hak sebagai orang yang tidak bersalah kecuali alat bukti dan keyakinan hakim menyatakannya bersalah. Ketika hakim memutuskannya bersalah, status penjahat "sementara" berganti sebagai terpidana.

Berdasarkan pemahaman asas tersebut di atas, mustahil orang yang diduga melakukan kejahatan (baca: tersangka) diberikan amanah mengelola jabatan publik hingga proses peradilan menyatakan dirinya bersih dari segala perbuatan jahat. Menjadikan tersangka sebagai pejabat publik merupakan kebijakan berisiko besar terhadap keselamatan umum. Itu sebabnya pilihan Presiden Jokowi merupakan "perjudian besar" dalam sejarah kehidupan bernegara.

Perjudian Presiden itu juga mengabaikan semangat Reformasi yang termaktub dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam Pasal 5 angka 4 UU tersebut ditentukan bahwa penyelenggara negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan KKN. Sebagai seorang tersangka kasus korupsi, potensi sang calon Kepala Polri melakukan tindakan KKN sangat besar. Wajar jika langkah Jokowi memberikan tanggung jawab besar kepada figur yang bermasalah merupakan pilihan berisiko.

Bahkan, jika disimak asas-asas penyelenggaraan negara yang dimaktub dalam Pasal 3 UU Nomor 28/1999, pilihan Jokowi menjadikan seorang tersangka sebagai Kepala Polri adalah tindakan yang tidak profesional, tidak tertib penyelenggaraan negara, tidak memperhatikan kepentingan umum, dan tidak akuntabel (bertanggung jawab). Jika Jokowi memaksakan kehendak, bukan tidak mungkin pemerintahannya dianggap melanggar semangat Reformasi penyelenggara negara yang menjadi dasar perubahan UUD 1945. Jokowi dapat diduga melanggar "jiwa konstitusi".

Jokowi (juga orang-orang di sekelilingnya) harus mampu berpikir bahwa ada "pergerakan" tak wajar di parlemen terkait dengan pengajuan calon Kepala Polri. Dua kubu parlemen yang selalu berseteru tiba-tiba berjabat tangan menyetujui pilihan Jokowi. Bahkan sebelum proses fit and proper test di parlemen, sebagian anggota DPR "sowan" ke rumah calon Kepala Polri.

Bagi saya, sulit dihindari dugaan bahwa terdapat langkah tersembunyi DPR (terutama oposisi pemerintah) yang mengabaikan kepentingan rakyat. Jika langkah DPR itu "bersih", mestinya tuntutan calon Kepala Polri bebas KKN tentu lebih kuat. Namun desakan itu tak terjadi sebagaimana kubu oposisi biasanya. Itu sebabnya, bukan tidak mungkin persetujuan DPR adalah "jebakan" untuk menjerumuskan pemerintah Jokowi kepada masalah besar di kemudian hari.

(Feri Amsari, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas)

 

 

Add a comment

Hatta

Yamin

SEKRETARIAT PUSAKO FH-UNAND

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Lt II Gedung Bersama Dekanat Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Telp/Fax : 0751-775692 E-mail : sekretariat@pusako.or.id Twitter : @PUSaKO_UNAND